KOMPAS.com - Kegagalan untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat C merupakan kegagalan moral dan kelalaian fatal.
Hal tersebut diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal PBB António Guterres pada sesi pembukaan KTT iklim Cop30 di kota Belém, Brasil.
Dalam pernyataannya, Guterres mengungkapkan bahkan melampaui batas sementara pemanasan akan memiliki konsekuensi dramatis.
Hal tersebut dapat mendorong ekosistem melewati titik kritis, membuat miliaran orang terpapar kondisi yang tak layak huni, dan mengancam perdamaian seta keamanan.
Di depan kepala negara lebih dari 30 negara, ia pun mendesak untuk mengubah paradigma agar dampak dari melampaui batas 1,5 derajat C dapat diminimalkan.
Baca juga: Pakar Peringatkan, Kredit Karbon Justru Hambat Target Iklim Global
"Setiap sepersekian derajat berarti lebih banyak kelaparan, pengungsian, dan kerugian, terutama bagi mereka yang paling tidak bertanggung jawab. Ini adalah kegagalan moral dan kelalaian yang mematikan," katanya, dikutip dari Guardian, Kamis (6/11/2025).
Organisasi Meteorologi Dunia sebelumnya telah mengonfirmasi emisi gas rumah kaca yang memanaskan planet ini telah mencapai rekor tertinggi.
Tahun 2025 juga berada di jalur untuk menjadi tahun terhangat kedua atau ketiga yang pernah tercatat.
Dalam kesempatan yang sama Guterres menyampaikan pula telah ada beberapa kemajuan dalam membatasi emisi, namun belum cukup cepat.
Banyak negara telah mengajukan rencana yang lebih ambisius untuk mengurangi emisi. Jika rencana tersebut diterapkan sepenuhnya, katanya, dunia akan berada di jalur menuju pemanasan global sekitar 2,3 derajat C.
Prakiraan ini menempatkan planet ini dalam kondisi berbahaya, tetapi jauh lebih baik daripada yang diperkirakan 20 tahun lalu.
Baca juga: Eropa Sepakat Target Iklim 2040, tapi Ambisinya Melemah, Minta Kelonggaran
Hal ini sebagian besar berkat dukungan internasional untuk perjanjian Paris 2015 dan revolusi energi bersih yang semakin cepat. Namun, beberapa negara kuat mulai menjauh dari aksi iklim, terutama AS.
Industri minyak, gas dan batu bara menghambat perubahan ini. Perusahaan-perusahaan di sektor tersebut justru mendapatkan subsidi dan dukungan politik yang sangat besar dan menggunakannya untuk merugikan semua orang.
Sementara di sisi lain, banyak negara telah dilanda bencana iklim.
Negara-negara di belahan bumi selatan menginginkan negara-negara maju di belahan bumi utara untuk memberikan dukungan dalam beradaptasi dengan cuaca yang semakin ekstrem dan membantu mereka dalam transisi energi, tetapi komitmen keuangan sejauh ini jauh di bawah 1,3 triliun dolar AS per tahun yang disepakati pada Cop29 di Baku.
Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva menambahkan bahwa tidak mungkin ada solusi untuk krisis iklim tanpa mengatasi ketimpangan di dalam dan antarnegara, dan mengatakan mereka harus terinspirasi oleh masyarakat adat yang hidup lebih berkelanjutan dengan alam.
Baca juga: Bisa Suplai Listrik Stabil, Panas Bumi Lebih Tahan Krisis Iklim Ketimbang EBT Lain
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya