BANJIR bandang dan longsor yang terus terjadi di Sumatera seakan menjadi alarm nyata bahwa lanskap kita — terutama DAS (daerah aliran sungai) — sudah terlalu rapuh. Pembukaan hutan besar-besaran untuk perkebunan monokultur, termasuk sawit, telah melemahkan fungsi alam seperti retensi air, infiltrasi, dan penahan erosi.
Namun, menuding seluruh industri sawit sebagai sumber bencana — dan menyerukan pelarangan total — bukanlah solusi yang adil bagi jutaan petani dan pekerja. Di sinilah gagasan agroforestri sawit — sebagai jalan tengah — mendapat relevansi tinggi: mempertahankan produktivitas sekaligus memulihkan sebagian fungsi ekologis lanskap.
Baca juga: Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
Sebagai tanaman tropis, kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) sangat bergantung pada intensitas cahaya. Penelitian fisiologi menunjukkan bahwa laju fotosintesis optimum — light-saturation point — bagi sawit bisa berada pada kisaran 700–1.000 µmol photon m-² s-¹ tergantung umur dan kondisi.
Artinya, bila kanopi pohon pelindung terlalu rapat sehingga memangkas paparan cahaya di bawah kisaran ini (misalnya menjadi 200–300 µmol photon m-² s-¹), maka laju fotosintesis akan terganggu yang pada akhirnya dapat menurunkan produktivitas tandan buah segar (TBS).
Sejumlah kajian internasional menunjukkan bahwa penambahan pohon di dalam lanskap kelapa sawit tidak otomatis menurunkan produksi TBS selama penataannya mengikuti prinsip ekologi cahaya.
Eksperimen besar tree-islands di Indonesia oleh Zemp et al. (2023) membuktikan bahwa pulau-pulau pohon asli yang ditempatkan pada 5–10% area kebun mampu meningkatkan biodiversitas dan fungsi ekosistem tanpa penurunan hasil sawit pada skala areal produksi, karena shading hanya terbatas lokal dan tidak mengurangi penerimaan cahaya mayoritas pokok sawit.
Studi Tropenbos (2021) dan panduan intercropping teknis serupa juga menunjukkan bahwa penanaman pohon berkanopi ringan—seperti sengon (Paraserianthes falcataria), gamal (Gliricidia sepium), atau lamtoro (Leucaena leucocephala)—dalam sistem jalur lebar (double-row alley) menjaga fraksi langit terbuka sehingga intensitas cahaya pada kanopi sawit tetap mendekati kondisi optimum.
Secara keseluruhan, literatur konsisten menunjukkan bahwa sistem agroforestri sawit dapat dirancang agar ekologis tanpa mengorbankan produktivitas—dengan syarat penempatan pohon tidak disebar merata, melainkan diklasterkan atau dijadikan jalur khusus, serta memilih spesies yang tidak menciptakan naungan berlebih.
Berdasarkan hal tersebut, agroforestri kelapa sawit sebenarnya bukan praktik yang merugikan apabila mempertimbangkan batas fisiologi dasar tanaman sawit, terutama kebutuhan cahaya untuk mempertahankan produktivitas TBS.
Kelapa sawit memiliki ambang toleransi naungan yang rendah; jika tajuk pohon campuran terlalu rapat atau terlalu tinggi sehingga menutup cahaya secara berlebihan, fotosintesis sawit akan turun dan produksi ikut merosot. Oleh karena itu, pemilihan spesies pohon yang memiliki tajuk ringan, tidak terlalu melebar, dan memiliki pola peredupan cahaya yang tidak ekstrem adalah kunci agar integrasi tanaman tambahan tidak mengganggu efisiensi fisiologis sawit.
Baca juga: Bencana Sumatera, Pakar Geofisika ITS: Hutan Alam di Gunung Harus Dikembalikan, Bukan Kelapa Sawit
Akhir-akhir ini, argumen yang menyatakan bahwa sawit juga pohon, punya daun, sehingga bisa menghasilkan oksigen, sehingga tidak perlu khawatir akan deforestasi juga sangat memprihatinkan. Faktanya, kebun sawit memang menyerap CO2 dan mengeluarkan oksigen, namun tidak sebesar hutan.
Sebuah studi di Filipina memperkirakan rata-rata kebun sawit menyimpan sekitar 40,3 ton karbon per hektare (tC/ha) (Borbon et al., 2020). Namun jika dibandingkan dengan hutan alam tropis, angka ini menunjukkan keterbatasan nyata. Studi global menunjukkan hutan tropis memiliki stok karbon total (vegetasi + tanah) yang jauh lebih besar, bervariasi antara 80–300 tC/ha atau lebih, tergantung tipe dan umur hutan.
Itulah sebabnya banyak peneliti menolak klaim bahwa sawit bisa menggantikan fungsi hutan secara utuh. Dengan kata lain: ya, sawit bisa menyerap karbon dan berkontribusi pada suplai oksigen — tetapi nilai ekologis, keanekaragaman hayati, cadangan karbon jangka panjang, dan stabilitas ekosistem dari hutan alam jauh lebih tinggi. Maka, menjadikan sawit sebagai “hutan pengganti” adalah simplifikasi yang sangat berbahaya.
Baca juga: Mengapa Perkebunan Sawit Merusak Lingkungan?
BPS memiliki data perkebunan kelapa sawit di Sumatera, dengan jumlah luasan kebun sawit terbesar di Indonesia rangking pertama ditempati Riau.
Kini kita sadar bahwa krisis bukan hanya soal karbon — melainkan soal fungsi hidrologis dan stabilitas lanskap. Ketika hutan primer hilang, sistem akar kuat, humus tebal, dan struktur tanah kompleks ikut terkikis — membuat kawasan rawan longsor atau meluasnya limpasan saat hujan deras.
Adapun beberapa praktik dalam agroforestri sawit seperti “zona buffer riparian” – menanam pohon besar di tepi sungai pada perkebunan sawit– dan “tree-islands” – penanaman pohon yang tidak disebar merata/diklasterkan di kebun sawit – menawarkan beberapa solusi dalam membantu menahan aliran air yang deras, memperlambat run off, meningkatkan infiltrasi, serta memperkaya keanekaragaman mikrohabitat.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya