JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia berada di persimpangan penting dalam menentukan arah masa depan energinya.
Dengan permintaan energi yang hampir berlipat ganda setiap dekade, kebutuhan energi nasional diproyeksikan meningkat hingga empat kali lipat pada 2050. Lonjakan ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi yang terus berlangsung.
Namun, di tengah proyeksi tersebut, Indonesia dinilai belum membangun infrastruktur energi berkelanjutan yang memadai untuk mengantisipasi lonjakan kebutuhan energi dalam beberapa dekade ke depan.
Kondisi ini sekaligus membuka peluang bagi Indonesia untuk melakukan lompatan menuju sistem energi yang lebih bersih.
Associate Adjunct Professor di Goldman School of Public Policy, University of California, Berkeley, Nikit Abhyankar, mengatakan sebagian besar infrastruktur energi Indonesia di masa depan justru belum dibangun.
“Hampir 60–65 persen infrastruktur energi yang akan ada pada 2050 masih belum dibangun. Dengan turunnya harga energi surya dan teknologi penyimpanan energi secara cepat, sekarang adalah momen bagi Indonesia untuk melompat ke masa depan energi yang lebih bersih,” ujar Nikit dalam CSO Roundtable on Indonesia's 100 GW Solar Power Ambition: Lesson Learned from India and Beyond di Jakarta, Selasa (16/12/2025).
Nikit menilai kesempatan ini bisa hilang jika Indonesia menunda transisi energi selama 10 hingga 15 tahun ke depan. Pasalnya, keterikatan pada pembangunan infrastruktur energi fosil baru akan membuat arah transisi menjadi jauh lebih sulit.
Menurut dia, tantangan utama transisi energi bukanlah menghentikan atau menggantikan pembangkit fosil yang sudah ada, melainkan mencegah pembangunan aset energi fosil baru agar tidak menciptakan ketergantungan jangka panjang.
“Energi surya dan batu bara yang sudah ada tidak harus saling bertentangan. Pertarungan sesungguhnya adalah antara energi surya dan pembangunan **pembangkit batu bara baru**, bukan aset yang sudah eksis. Lapangan kerja, tambang, dan pembangkit yang ada tidak perlu ditutup karena memang sudah terbangun,” kata Nikit.
Secara global, harga panel surya dan teknologi penyimpanan energi mengalami penurunan drastis dalam 10–15 tahun terakhir, mencapai hampir 90 persen.
Penurunan ini terjadi pada berbagai jenis baterai lithium-ion, seperti lithium ferro-phosphate (LFP), nickel manganese cobalt (NMC), hingga nickel cobalt aluminium oxide (NCA).
Teknologi LFP yang kini banyak digunakan untuk penyimpanan energi skala jaringan dan kendaraan listrik bahkan telah dipasarkan dengan harga di bawah 80 dolar AS per kWh.
Nikit menyebut kapasitas manufaktur baterai global yang berlebih membuat harga teknologi ini diperkirakan tetap kompetitif dalam jangka panjang.
India disebut sebagai contoh negara yang berhasil memanfaatkan penurunan harga teknologi energi terbarukan. Negara tersebut mampu menetapkan harga power purchase agreement (PPA) energi terbarukan terendah di dunia.
Harga PPA pembangkit listrik tenaga surya di India saat ini berada di kisaran 2,5 dolar AS per MWh. Total kapasitas energi terbarukan India juga telah mendekati 250 gigawatt, dengan sekitar setengahnya berasal dari tenaga surya.
Pembangunan pembangkit surya yang dilengkapi sistem penyimpanan energi kini menjadi tren baru di India.
“Ini benar-benar mengubah permainan, karena biayanya kurang dari setengah biaya pembangunan pembangkit batu bara baru,” ujar Nikit.
Ia menilai pengalaman India menunjukkan bahwa transisi energi tidak hanya memungkinkan secara teknis, tetapi juga semakin kompetitif secara ekonomi—pelajaran yang relevan bagi Indonesia dalam merancang masa depan energinya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya