Penulis
KOMPAS.com - Tingginya kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer tidak hanya memicu krisis iklim, tapi juga memengaruhi nutrisi makanan.
Penelitian dari Leiden University dalam jurnal Global Change Biology menunjukkan, peningkatan CO2 bikin pangan jadi lebih tinggi kalori, tapi miskin nutrisi penting.
Baca juga:
"Melihat betapa dramatisnya beberapa perubahan nutrisi tersebut, dan bagaimana hal ini bervariasi antar-tanaman, sungguh mengejutkan," dosen di Universiteit Leiden di Belanda, Sterre ter Haar, dilansir dari The Guardian, Sabtu (20/12/2025).
"Kami tidak melihat efek pengenceran sederhana, melainkan pergeseran total dalam komposisi makanan... Hal ini juga menimbulkan pertanyaan apakah kita perlu menyesuaikan pola makan kita dengan cara tertentu, atau bagaimana kita menanam atau memproduksi makanan kita," tambah dia.
Kadar karbon dioksida (CO2) yang meningkat membuat makanan lebih tinggi kalori, tapi kehilangan nutrisi penting menurut riset terbaru.Makanan yang selama ini dianggap sehat bisa berubah kandungannya. Nasi dan tomat yang disantap pada masa depan berpotensi tidak lagi memberikan zat gizi yang cukup bagi tubuh.
Tanaman pangan diketahui mengandung lebih sedikit zinc, zat besi, dan protein ketika kadar CO2 di udara meningkat.
Dilansir dari laman Universteit Leiden, penelitian tersebut mencatat bahwa kandungan nutrisi penting dalam tanaman menurun rata-rata 4,4 persen. Dalam beberapa kasus, penurunannya bahkan mencapai 38 persen.
Pada saat yang sama, jumlah kalori justru meningkat. Kondisi ini berisiko memicu obesitas meski asupan nutrisi tubuh tidak tercukupi.
Tidak hanya itu, konsentrasi zat berbahaya seperti timbal juga berpotensi meningkat pada tanaman pangan. Namun, para peneliti menegaskan bahwa masih diperlukan data tambahan untuk memastikan dampak ini.
Banyak penduduk dunia bergantung pada beras dan gandum sebagai sumber makanan utama. Penelitian menunjukkan bahwa kedua tanaman ini mengalami penurunan nutrisi yang signifikan seiring naiknya kadar CO2.
Baca juga:
Kadar karbon dioksida (CO2) yang meningkat membuat makanan lebih tinggi kalori, tapi kehilangan nutrisi penting menurut riset terbaru.Dalam riset ini, para peneliti membandingkan data dari berbagai studi sebelumnya. Tanaman ditanam dalam kondisi dengan kadar CO2 yang berbeda. Meski awalnya sulit dibandingkan, peneliti menemukan pola yang jelas.
Efek peningkatan CO2 terhadap pertumbuhan dan kandungan nutrisi tanaman bersifat linear. Ketika kadar CO2 naik dua kali lipat, dampaknya pada nutrisi juga meningkat dua kali lipat.
Temuan tersebut memungkinkan peneliti membuat pengukuran dasar untuk membandingkan data.
Secara total, penelitian ini menganalisis 43 jenis tanaman pangan, meliputi padi, kentang, tomat, dan gandum. Semua menunjukkan tren penurunan kualitas nutrisi.
Kadar karbon dioksida (CO2) yang meningkat membuat makanan lebih tinggi kalori, tapi kehilangan nutrisi penting menurut riset terbaru.Pengukuran "dasar" para peneliti adalah konsentrasi gas sebesar 350 part per million (ppm), yang kadang disebut sebagai tingkat "aman" terakhir.
Para peneliti membandingkannya dengan konsentrasi 550 ppm, yang diperkirakan oleh beberapa peneliti akan tercapai pada tahun 2065.
Sebagian besar nutrisi akan merespons negatif terhadap peningkatan konsentrasi ini, dengan penurunan rata-rata sebesar 3,2 persen.
"Level CO2 untuk pengukuran dasar adalah 350 part per million (ppm), dan kami melihat apa yang akan terjadi pada level 550 ppm, level yang diperkirakan akan kita capai dalam masa hidup kita. Saat ini kita hidup pada level 425 ppm, jadi kita sudah setengah jalan dalam model ini," jelas Haar.
Hasil studi ini mengindikasikan bahwa makanan yang dikonsumsi saat ini kemungkinan sudah kurang bergizi dibanding beberapa dekade lalu.
Ke depan, pola makan manusia mungkin perlu disesuaikan. Tanpa perubahan, risiko kekurangan nutrisi bisa meningkat meski pasokan makanan tetap melimpah.
Para peneliti berharap studi ini mendorong riset lanjutan. Penelitian dibutuhkan untuk melihat dampak CO2 pada tanaman lain serta cara beradaptasi dengan perubahan iklim.
Baca juga:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya