JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Daniel Murdiyarso, mengungkapkan mangrove menjadi sumber karbon biru atau blue carbon untuk memangkas emisi karbon dioksida (CO2).
Seperempat mangrove dunia dengan cadangan karbon sebesar 3 miliar ton per hektare hidup di Indonesia. Namun, restorasi masih menjadi fokus penyerapan CO2. Padahal konservasi ekosistem mangrove jauh lebih efektif menekan emisi dibandingkan restorasi.
"Menyerap (CO2) itu sulit, sering gagal dan banyak risikonya. Sementara yang ada, 3 miliar (mangrove) ada kerusakan di mana-mana, tetapi konservasi tidak menjadi agenda pasar blue carbon," ungkap Daniel dalam acara Sains di Medan Merdeka, Jakarta Pusat, Selasa (14/10/2025).
Baca juga: Nilai Ekonomi Mangrove dan Terumbu Karang Gili Matra Lombok Capai Rp 50 M Per Tahun
Umur karbon biru yang tersimpan di ekosistem mangrove bisa mencapai 13.000-15.000 tahun lamanya. Hal ini menunjukkan betapa besar potensi penyimpanan karbon yang dapat dijaga melalui konservasi.
"Kalau mitigasi emisi cadangan minyak bisa diagendakan, tetapi kenapa cadangan karbon biru di mangrove tidak bisa diperlakukan dengan cara yang sama. Sementara kita kesulitan menyerap dengan restorasi, konservasi hampir diabaikan," tutur dia.
Berdasarkan studi Bank Dunia pada 2023, biaya restorasi mangrove mencapai 3.000–4.000 dollar AS per hektare dengan tingkat keberhasilan yang tidak selalu tinggi. Sebaliknya, biaya konservasi jauh lebih rendah dengan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat dan lingkungan.
"Sehingga benefit cost ratio-nya (total manfaat konservasi) kalau dihitung opportunity cost-nya, bisa lima kali dibanding benefit cost ratio kalau kita merestorasi. Risikonya berbeda kalau restorasi dan konservasi," ucap Daniel.
Daniel mencatat, ekosistem mangrove memberikan berbagai manfaat ganda seperti perlindungan pesisir, habitat ikan, hingga sumber ekonomi masyarakat pesisir. Di sisi lain, dia mengakui bahwa restorasi tetap diperlukan meski nilai manfaatnya lebih rendah.
Dalam kesempatan itu, dia turut menyoroti persoalan terus bertambahnya CO2 di atmosfer. Menurutnya, sekitar 80 persen emisi dunia berasal dari pembakaran bahan bakar fosil.
Baca juga: BRIN: 10 Tahun Terakhir Luas Ekosistem Mangrove di Semarang Kian Turun
Kendati ada peralihan ke energi bersih seperti kendaraan listrik, ketergantungan terhadap bahan bakar fosil masih tinggi.
"Isu utamanya adalah bagaimana memitigasi kelebihan CO2 di atmosfer yang sekarang jumlahnya sekitar hampir 60 miliar ton. Itu tambah setiap tahun sekitar 8-10 miliar ton, umurnya 100 tahun sehingga sebelum itu mati atau habis terurai bertambah terus," tutur Daniel.
Dia menekankan upaya menurunkan emisi ini menjadi tujuan utama global, sebagaimana diatur dalam mekanisme Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Negara-negara diminta menurunkan emisinya melalui target Nationally Determined Contribution (NDC) yang dilaporkan setiap tahun. Selain itu, menjaga agar kenaikan suhu global tidak melebihi 1,5 derajat celsius dari suhu rata-rata pada masa pra-industri.
"Tetapi tahun lalu sudah terlewat angka ini, jadi memang kelebihan (emisi) itu luar biasa besar. Jadi konsentrasi dunia adalah menurunkan emisi ini," sebut Daniel.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya