KOMPAS.com - Dalam memitigasi bencana hidrometeorologi, Indonesia dinilai perlu solusi berbasis alam, salah satunya menanam pohon "rakus" air alias punya level transpirasi tinggi.
"Jadi, yang dikatakan rakus dan tidak rakus air, indikatornya terutama evapotranspirasi, dan itu akan terlihat ketika di mana tidak hujan," kata Senior Lecturer Facultry of Sustainable Agriculture Universiti Malaysia Sabah, Muhamad Askari dalam sebuah webinar, Jumat (19/12/2025).
Baca juga:
Lantas, apa itu pohon "rakus" air dan seberapa rawan bencana Indonesia, khususnya bencana hidrometeorologi?
Kerusakan rumah akibat banjir di Desa Bungkah, Kecamatan Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara, Jumat (19/12/2025)Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Selasa (4/11/2025), terdapat 2.726 bencana terjadi di Indonesia, mayoritas erat kaitannya dengan air dan atmosfer atau bencana hidrometeorologi.
Bahkan, data BNPB tersebut belum mencatat bencana tanah longsor dan banjir di Aceh, Sumatera Utara, serta Sumatera Barat.
Terdapat empat faktor penyebab bencana hidrometeorologi di Indonesia. Pertama, faktor meteorologi terkait dengan siklon tropis, El Nino, dan La Nina.
Kedua, faktor topografi, seperti wilayah perbukitan dan pegunungan dengan lereng-lereng curam.
Ketiga, faktor ekosistem yang sudah kehilangan daya dukung dan daya tampung. Data Global Forest Watch (GFW) mencatat, Indonesia kehilangan 32 juta hektar tutupan hutan selama periode 2001-2024.
Indonesia menjadi negara dengan kehilangan tutupan hutan posisi tertinggi ke-5 di dunia di dunia, setelah Rusia, Brasil, Kanada, dan Amerika Serikat.
Keempat, faktor hidropedologi (accelerated saturation) atau air hujan mengalir di atas permukaan (limpasan atau run off) akibat tanah tidak bisa lagi menyerap atau mencapai titik jenuh.
Baca juga:
Foto udara kondisi jalan yang putus akibat banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Minggu (30/11/2025). Bencana banjir bandang yang terjadi pada Selasa (25/11) lalu menyebabkan rumah warga rusak, kendaraan hancur, jalan dan jembatan putus.Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air (PRLSDA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Asep Mulyono menilai, Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan struktural dan solusi infrastruktur fisik dalam memitigasi bencana hidrometeorologi.
Indonesia perlu solusi berbasis alam (nature-based solutions/Nbs) dalam memitigasi bencana hidrometeorologi karena lebih relevan dengan karakter alam dan proses alami suatu wilayah.
Solusi berbasis alam dapat berupa konservasi, perlindungan hutan lindung, aforestasi lahan marginal, dan reforestasi area yang rusak.
Penanaman pohon melalui aforestasi maupun reforestasi tersebut sebaiknya dilakukan setelah musim hujan. Sebaiknya, penanaman pohon tidak dilakukan pada musim kemarau karena banyak bibit yang akan mati.
"Bibitnya tidak mampu beradaptasi dengan baik karena tanahnya kering. Jadi, tidak bertahan lama. Berdasarkan data kami kurang dari 60 persen (bibit itu mati) karena ditanam pada saat musim kemarau," ujar Asep dalam webinar, Jumat (19/12/2025).
Setelah penanaman, kata dia, perlu perawatan dan pengawasan selama lima tahun. Namun, untuk bisa kembali menjadi hutan, dibutuhkan waktu sekitar 10-20 tahun.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya