Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
Menteri Kehutanan selaku Wakil Ketua Satgas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi dalam rapat perdana 17 Januari 2025 memaparkan, kontribusi sektor kehutanan terhadap pengembangan energi terbarukan dapat dilakukan melalui pembangunan hutan tanaman energi untuk memproduksi bioenergi dan bioetanol.
Komoditas nyamplung, kaliandra, kepuh, gamal, dan kemiri sunan malapari adalah sumber utama penghasil bioenergi dalam bentuk wood pellet dan biofuel. Sedangkan bioetanol dapat diproduksi dari pengolahan aren, nira, singkong, tebu dan sorgum.
Nilai tambah berlipat juga dapat dihasilkan melalui hilirisasi. Industri pulp dan kertas, kayu lapis (plywood) dan wood pellet untuk biomassa merupakan produk akhir dari pengolahan hasil hutan kayu.
Getah pinus sebagai bagian dari hasil hutan bukan kayu juga dapat dioptimalkan menjadi gondorukem dan terpentin, bahkan turunan produk derivatif yang memiliki nilai tambah lebih tinggi.
Baca juga: Hukum (Bukan) untuk Oligarki
Komoditas aren digadang-gadang sebagai produk unggulan hasil hutan bukan kayu untuk menopang ketahanan energi nasional.
Kementerian Kehutanan merencanakan penanaman satu juta hektar aren pada kawasan hutan dari Sumatera sampai Papua, kemudian dibangun industri hilir pengolahan menjadi 24 juta kilo liter bioetanol setiap tahun.
Proyeksi angka produksi bioetanol aren tersebut mereka sebut sebagai ikhtiar untuk substitusi impor bahan bakar minyak (BBM) nasional.
Novita, Basuki dkk. (2022) merilis laporan penting yang dipublikasikan pada jurnal internasional bertajuk Natural Climate Solutions (NCS).
Mereka mengidentifikasi sekitar 26 juta hektar kawasan hutan mineral, lahan gambut dan mangrove berpotensi menghasilkan kredit karbon sebesar 1,3 giga ton setara CO2 setiap tahun.
Data tersebut menyingkap masa depan baru ekonomi kehutanan, dari yang bertumpu pada produksi kayu menuju pendanaan berkelanjutan jasa ekosistem, khususnya dari pengembangan imbal jasa karbon.
Berbagai kalangan kerap mempertanyakan tren penurunan kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kontribusi subsektor kehutanan dan penebangan kayu rerata lima belas tahun terakhir hanya 0,7 persen, di mana terjadi penurunan dari 0,85 persen (2010) menjadi 0,61 persen (2024).
Para ilmuwan dan praktisi kehutanan memberikan pembelaan, bahwa nilai manfaat sektor kehutanan tidak boleh hanya dinilai dari nilai barang dan jasa seperti yang digunakan pada perhitungan produk domestik bruto (PDB).
Sumber air, penangkapan emisi gas rumah kaca, dan keanekaragaman hayati juga aset ekonomi yang jauh lebih besar.
Baca juga: Penantian Tobat Ekologis
Menghindari perdebatan dua madzhab (ekonomi dan ekologi) tersebut, penulis menilai potensi ekonomi imbal jasa karbon sangat besar.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya