Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 31/01/2024, 16:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Indonesia mendapatkan peringkat critically insufficient atau "sama sekali tidak memadai" untuk membatasi suhu Bumi naik 1,5 derajat celsius.

Penilaian tersebut dilakukan Climate Action Tracker (CAT) yang melakukan asesmen terhadap kebijakan dan aksi serta target iklim yang terdapat dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia pada 2023.

Peringkat ini turun dibandingkan 2022 di mana Indonesia mendapat peringkat highly insufficient atau "sangat tidak memadai" dari CAT.

Baca juga: Mencari Gagasan Memperkuat Ketahanan Pangan di Tengah Krisis Iklim

Institute for Essential Services Reform (IESR), sebagai kolaborator dalam CAT, mengungkapkan Indonesia berpotensi mengeluarkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 1.800 juta ton setara karbon dioksida untuk target dengan upaya sendiri pada 2023.

Indonesia juga berpotensi tetap menghasilkan emisi GRK 1.700 juta ton setara karbon dioksida dengan target bantuan internasional pada tahun 2030. Ini belum termasuk emisi dari sektor kehutanan dan lahan.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyebutkan, rendahnya nilai aksi iklim yang diperoleh Indonesia dikarenakan peningkatan konsumsi batu bara yang digunakan untuk hilirisasi sektor pertambangan.

Untuk diketahui, "sama sekali tidak memadai" merupakan peringkat paling bawah dalam sistem penilaian CAT sebagaimana dilansir dari siaran pers IESR.

Baca juga: Debat Hanya Tontonkan Gimmick, Cawapres Tak Paham Krisis Iklim

"Indonesia membutuhkan aksi yang terukur dan nyata untuk bertransisi dari energi fosil dan melakukan akselerasi transisi energi ke energi terbarukan pada dekade ini," ungkap Fabby dalam peluncuran laporan Climate Action Tracker Assessment Indonesia dan Climate Transparency Implementation Check, Senin (30/1/2024).

Koordinator Proyek Climate Policy IESR Delima Ramadhani menjelaskan, agar sejalan dengan Persetujuan Paris, emisi sektor ketenagalistrikan harus turun menjadi 140-150 juta ton setara karbon dioksida pada 2030 dan mencapai netral karbon pada 2040.

"Indonesia perlu menerapkan reformasi kunci yang disarankan dalam dokumen perencanaan dan kebijakan investasi komprehensif JETP (CIPP) serta merumuskan dan mengimplementasikan jalur dekarbonisasi yang ambisius untuk pembangkit listrik di luar jaringan (captive)," jelas Delima.

IESR juga melakukan pengecekan secara implementasi kebijakan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN).

Baca juga: Ketiga Cawapres Tak Kupas Dampak Perubahan Iklim terhadap Produksi Pangan

Kebijakan ini merupakan acuan utama Indonesia dalam pengembangan ketenagalistrikan domestik, yang dapat juga digunakan untuk pemantauan dan evaluasi pengembangan energi terbarukan.

Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR Akbar Bagaskara memaparkan, secara umum penilaian terhadap RUKN adalah "sedang" atau medium.

Itu berarti RUKN telah memiliki basis hukum yang jelas yakni Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 143 Tahun 2019.

Namun secara implementasi, sektor ketenagalistrikan banyak menemui hambatan, di antaranya target bauran energi terbarukan yang sering tidak tercapai per tahunnya.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com