Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 26/04/2024, 15:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Dalam kurun waktu 10 tahun, dari 2013 sampai 2023, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara captive di Indonesia berlipat ganda sekitar 10 kali lipat.

PLTU batu bara captive adalah pembangkit yang dioperasikan dan dimiliki oleh perusahaan tertentu untuk menyuplai kebutuhan listriknya sendiri.

Menurut laporan dari Global Energy Monitor (GEM) dan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), kapasitas terpasang PLTU captive di Indonesia sekitar 1,4 gigawatt pada 2013.

Baca juga: Pertama di Dunia, Satelit yang Mampu Pantau Karbon Dioksida PLTU Captive Diluncurkan

10 tahun kemudian atau pada 2023, kapasitas terpasang PLTU captive di Indonesia mencapai 10,8 GW dari 117 unit. Terjadi peningkatan kapasitas terpasang hampir 10 kali lipat.

Dari total kapasitas terpasang PLTU captive, lebih dari separuh tepatnya 67 persen atau 7,273 GW di antaranya dipakai untuk industri nikel.

Di satu sisi, nikel menjadi menjadi salah satu logam penting untuk transisi energi terbarukan.

Indonesia juga merupakan pemasok utama logam-logam penting yang dibutuhkan untuk transisi energi terbarukan, salah satunya nikel.

Baca juga: 23,7 Persen Pembangkit Listrik Batu Bara Indonesia adalah PLTU Captive

Ekspansi PLTU captive tidak berhenti. Rencananya, akan ada penambahan kapasitas terpasang sebesar 14,4 GW dengan status diusulkan atau sedang dalam tahap konstruksi.

Angka tersebut setara dengan ekspansi yang direncanakan oleh PT PLN dan produsen listrik swasta untuk jaringan nasional, menurut penghitungan GEM dan CREA.

Bila terbangun semua, total kapasitas terpasang PLTU captive melonjak menjadi lebih dari 25 GW.

Analis CREA Katherine Hasan mengatakan, pengembangan PLTU captive di Indonesia lima kali lebih cepat dibandingkan negara-negara lain di dunia dalam 10 tahun terakhir.

Baca juga: Walhi: PLTU Captive di Smelter Nikel Jadi Ironi Transisi Energi

"Negara ini tidak mampu menghilangkan pembangkit listrik ini dari perencanaan transisi energi ramah lingkungan," kata Hasan dalam siaran pers.

Di satu sisi, Indonesia mendapat pendanaan transisi energi dari mitra global melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai 20 miliar dollar AS.

GEM dan CREA menilai, emisi dari PLTU batu bara captive merupakan ancaman utama yang harus dipertimbangkan dalam rencana implementasi JETP.

Peneliti GEM Lucy Hummer menuturkan, ekspansi PLTU captive dan kurangnya transparansi berpotensi menyabotase transisi energi Indonesia.

"Pemerintah harus mempercepat pengembangan industri logam penting dan penghentian PLTU batu bara dengan bantuan mitra internasional," ujar Hummer.

Baca juga: Walhi Sebut PLTU Captive Berdampak Buruk bagi Lingkungan dan Masyarakat

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau