JAKARTA, KOMPAS.com - Matahari merupakan sumber energi yang ketersediaannya demikian melimpah dan tidak terbatas.
Anugerah inilah yang mendorong sejumlah fisikawan memanfaatkannya sebagai media atau wahana untuk melakukan eksperimen dalam memperkuat penemuan-penemuan energi baru terbarukan (EBT).
Namun, tahukah Anda, bagaimana histori dari penemuan energi yang bersumber dari tenaga surya ini?
Sejatinya, pemanfaatan energi surya bukanlah hal baru. Sejak abad ke-7 sebelum masehi, orang-orang telah memanfaatkannya. Bahkan, matahari menjadi obyek yang dihormati dan dipuja.
Pada abad ke-3 SM, orang Yunani dan Romawi telah memantulkan sinar matahari dari cermin untuk menyalakan obor suci dalam berbagai upacara keagamaan.
Teknologi PLTS Ditemukan
Pada tahun 1839, fisikawan asal Perancis Edmond Becquerel menemukan efek fotovoltaik saat melakukan eksperimen dengan sel yang terbuat dari elektroda logam dalam larutan konduktor.
Dalam eksperimen tersebut, Edmond menemukan sebuah sel yang menghasilkan lebih banyak listrik ketika terkena cahaya.
Baca juga: IKN Dipastikan Gunakan Energi Rendah Karbon
Kemudian pada tahun 1873, Willoughby Smith menemukan senyawa kimia, selenium dapat berfungsi sebagai fotokonduktor.
Berselang tiga tahun kemudian, William Grylls Adams dan Richard Evans Day menerapkan prinsip fotovoltaik yang ditemukan oleh Becquerel pada selenium.
Mereka menemukan bahwa selenium sebenarnya bisa menghasilkan listrik saat terkena cahaya.
Hampir 50 tahun setelah penemuan efek fotovoltaik, pada 1883, penemu Amerika Charles Fritz menciptakan panel surya selenium pertama dan berhasil menghasilkan listrik.
Panel surya selenium ini adalah cikal bakal dari penggunaan silikon dalam panel surya modern.
Di satu sisi, banyak fisikawan berperan dalam penemuan sel surya. Becquerel dikaitkan dengan pengungkapan potensi efek fotovoltaik, dan Fritz dengan benar-benar menciptakan nenek moyang semua sel surya.
Pada tahun 1905, Alber Einstein menerbitkan sebuah makalah tentang efek fotolistrik dan bagaimana cahaya membawa energi.
Tulisan Enstein ini berhasil menarik banyak perhatian dan membuat penerimaan pengunaan energi surya di banyak bidang.
Lompatan besar menuju pengunaan PLTS seperti yang digunakan sekerang ini berasal dari temuan Bell Labs pada tahun 1954.
Tiga ilmuwan Bell Labs yakni Daryl Chapin, Calvin Fuller, dan Gerald Pearson, menciptakan PLTS yang lebih praktis dengan menggunakan silikon.
Keuntungan PLTS dengan silikon adalah efisiensi yang lebih baik dan jumlahnya yang tidak terbatas di alam bila dibandingkan dengan selenium.
PLTS makin populer
Seiring berkembangnya penjelajahan di ruang angkasa, PLTS pun digunakan untuk memberi daya pada berbagai bagian pesawat ruang angkasa sepanjang akhir 1950-an dan 1960-an.
PLTS pertama kali digunakan pada satelit Vanguard I pada tahun 1958, diikuti oleh Vanguard II, Explorer III, dan Sputnik-3.
Pada tahun 1964, NASA kemudian meluncurkan satelit Nimbus, yang beroperasi sepenuhnya pada susunan panel surya fotovoltaik 470 watt.
Pada tahun 1970-an, kekurangan minyak membawa kesadaran bahwa Amerika Serikat (AS) sangat tergantung pada sumber daya asing.
Saat itu, angka inflasi AS mencuat karena masyarakat mengalami kesulitan di bidang ekonomi akibat kekurangan pasokan energi minyak.
Presiden AS kala itu, Jimmy Carter pun memulai berbagai inovasi untuk mengurangi ketergantungan pada minyak. Ia pun memasang panel surya di atap Gedung Putih.
Sejak saat itu, penggunaan enegi matahari kian populer baik di kalangan industri maupun masyarakat. Terlebih energi ini sangat melimpah dan tidak menimbulkan polusi seperti bahan bakar fosil.
Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat mulai tertarik menggunakan PLTS. Harga panel yang dulunya mahal, perlahan-lahan mulai menurun.
PLTS dibuat agar lebih efisien dan lebih murah sehingga bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik di rumah dan bisnis mereka.
Harga PLTS di pasaran Indonesia berkisar antara Rp 500.000 hingga puluhan juta, tergantung merek dan watt peak (WP) yang dihasilkan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya