JAKARTA, KOMPAS.com - Cadangan nikel yang bisa diolah menjadi bahan baku baterai mobil listrik di Maluku Utara, cukup untuk 73 tahun ke depan.
Oleh karena itu, wilayah ini dinilai dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi Nasional dan rantai terpenting dalam industri otomotif berbasis listrik dunia.
Chief Economist Bank Permata Josua Pardede mengungkapkan hal itu saat diskusi "Ngobrol Asyik di Ternate", Senin (10/4/2023).
Josua yang mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan, sebanyak 99,76 persen cadangan nikel Indonesia tersebar di wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua atau disebut Sulampua.
Baca juga: Sudah Berstatus PSN, Bagaimana Progres Kawasan Industri Nikel Pulau Obi?
Sampai dengan tahun 2021, total cadangan nikel Sulampua mencapai 4,6 miliar ton. Sementara pada tahun yang sama, produksi nikel Indonesia mencapai 1 juta ton atau tertinggi di dunia.
“Permintaan olahan nikel global diperkirakan mencapai 3,2 juta ton pada tahun 2024, didorong oleh upaya pengurangan emisi melalui transisi energi yang lebih ramah lingkungan,” kata Josua.
Sejalan dengan hal tersebut, lanjutnya produksi pertambangan nikel dunia diperkirakan mencapai 3,4 juta ton pada tahun 2024.
Adapun industri pengolahan nikel Indonesia diperkirakan menyumbang 1,4 juta ton lebih dari 40 persen produksi global.
Sejalan dengan investasi yang dilakukan, industri pengolahan Maluku Utara tumbuh signifikan. Struktur ekonomi pun berubah dari sebelumnya didominasi oleh pertanian dan pertambangan menjadi industri pengolahan yang mengolah hasil tambang bijih mineral.
Baca juga: Harita Produksi Batako Premium dari Limbah Nikel
Peralihan dari sektor pertanian ke sektor industri pengolahan juga terlihat dari proporsi tenaga kerja sektor industri pengolahan yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
“Peralihan tenaga kerja yang menghasilkan output yang lebih tinggi mendorong produktivitas tenaga kerja serta jumlah pekerja di Maluku Utara,” kata Josua.
Josua menegaskan, fenomena ini mendorong pertumbuhan ekonomi Maluku Utara tertinggi di Indonesia yakni sebesar 23,4 persen pada tahun 2022. Kontributor terbesar berasal dari industri hilirisasi nikel.
Hilirisasi
Salah satu perusahaan yang ikut mendorong terjadinya transformasi ini adalah PT Trimegah Bangun Persada Tbk atau Harita Nickel.
Perusahaan ini merealisasikan hilirisasi nikel dengan teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL) yang mampu memproduksi bahan baku untuk baterai mobil listrik.
Melalui PT Halmahera Persada Lygend (HPL), Harita Nickel memiliki saham 45,1 persen di Halmahera Persada Lygend.
Nikel sulfat (NiSO4) bermanfaat sebagai bahan prekursor katoda baterai litium atau baterai kendaraan listrik, sedangkan kobalt sulfat (CoSO4) sebagai material katoda baterai lithium.
Untuk merealisasikan produksi MHP, nikel sulfat, dan kobalt sulfat, Harita Nickel merogoh kocek senilai 1,1 miliar dollar AS atau ekuivalen Rp 16,4 triliun.
"Jadi industri ini harus didukung dan didorong. Ini bisa menjadi pusat perekonomian nasional, dan pertumbuhan ekonomi dari hilirisasi nikel berkontribusi mengurangi tingkat pengangguran di Maluku Utara yang prosentasenya lebih rendah dari rata-rata nasional,” ucap Josua.
Menurut dia, hilirisasi nikel akan memberikan dampak ekonomi bagi warga lokal karena membuka peluang rantai pasok bagi industri. Pada gilirannya akan mendorong perbaikan kesejahteraan Maluku Utara.
“Industri nikel ini dampak rambatannya terhadap sektor lain juga sangat banyak. tidak hanya membuka lapangan kerja, namun juga peluang usaha. Di tengah pandemi, jumlah orang bekerja di Maluku Utara terus meningkat. Kenapa? Karena adanya hilirisasi nikel,” papar Josua.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya