JAKARTA, KOMPAS.com - PT Bukaka Teknik Utama Tbk (BUKK) yang sebagian besar sahamnya dikendalikan keluarga Kalla, makin progresif mengembangkan investasi di sektor energi terbarukan dan hilirisasi pertambangan.
BUKK berencana membangun Tahap II smelter nikel di Palopo, Sulawesi Selatan, melalui anak usaha PT Bukaka Mandiri Sejahtera (BMS).
Direktur Keuangan BUKK Afifuddin Suhaeli Kalla memastikan dan menjamin operasionalisasi pengembangan Tahap II smelter nikel ini ramah lingkungan dan berkelanjutan.
"Hal ini karena kami menggunakan energi baru terbarukan (EBT) yang dipasok dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Kami tidak lagi menggunakan PLTU Batubara sebagai sumber energi untuk operasionalisasi pabrik," tegas Afifuddin menjawab Kompas.com, Rabu (17/5/2023).
Tahap II smelter nikel ini terdiri dari empat pabrik nikel sulfat berkapasitas produksi 31.400 ton per tahun dengan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) atau hidrometalurgi.
Baca juga: Dukung Transisi Energi, Harita Akan Bangun PLTS 300 MegaWatt
Sementara hingga saat ini, BMS tengah menggarap dua pabrik di Tahap I, yakni feronikel berkapasitas 43.000 ton per tahun dengan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) atau pirometalurgi, dan nikel sulfat berkapasitas 31.400 ton per tahun dengan teknologi HPAL.
“Smelter feronikel diharapkan dapat beroperasi pertengahan 2023, sedangkan smelter nikel sulfat beroperasi pada tahun 2024,” imbuh Afifuddin.
Afifuddin menuturkan, keterlibatan BUKK dalam hilirisasi pertambangan nikel merupakan upaya perusahaan untuk membantu pengembangan ekosistem baterai kendaraan listrik di Indonesia.
Hal ini mengingat Indonesia memiliki sumber cadangan nikel yang melimpah. BUKK juga siap bekerja sama dengan pihak manapun terkait pengembangan hilirisasi tersebut.
Ada pun alasan BUKK melakukan ekspansi investasi di sektor hilirisasi pertambangan nikel karena sumber daya nikel Indonesia merupakan terbesar kedua di dunia, dan itu ada di Sulawesi.
Selain itu, BUKK melalui BMS merupakan satu-satunya perusahaan yang dikendalikan oleh sumber daya manusia (SDM) asli Sulawesi.
"Kepemilikan BMS ini 100 persen Nasional. Makanya kami gencar melakukan ekspansi bisnis di sektor hilirisasi pertambangan nikel," cetus Afifuddin.
Baca juga: Harita Produksi Batako Premium dari Limbah Nikel
Hal ini berbeda dengan perusahaan smelter nikel lainnya yang beroperasi di Indonesia yang kebanyakan merupakan gabungan antara asing dan lokal.
Alasan lain yang mendorong BUKK gencar menggarap bisnis nikel adalah permintaan pasar dengan kualitas nikel yang tinggi.
Seperti diketahui, Pemerintah Amerika Serikat (AS) dikabarkan mengucilkan nikel Indonesia dari kebijakan paket subsidi terhadap mineral kritis untuk mendukung teknologi hijau.
Pemerintah AS berencana menerbitkan pedoman kredit pajak bagi produsen baterai dan kendaraan listrik di bawah Undang-Undang (UU) Pengurangan Inflasi atau Inflation Reduction Rate (IRA) dalam beberapa minggu ke depan. UU ini mencakup 370 miliar dollar AS dalam subsidi untuk teknologi energi hijau.
Namun, komponen baterai dari Indonesia dikhawatirkan tetap tidak memenuhi syarat untuk kredit pajak IRA secara penuh, baik dari sisi support system penggunaan energi hijau, juga kualitas produknya.
Selain itu, Indonesia juga belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS dan dominasi perusahaan China dalam industri nikel.
Oleh karena itulah BMS, kata Afifuddin, berupaya keras memenuhi kualifikasi itu agar dapat diterima pasar Amerika, Uni Eropa, dan China.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya