KOMPAS.com – Permukiman kumuh adalah salah satu masalah kehidupan manusia modern. Penataan permukiman kumuh menjadi salah satu program pemerintah.
Hingga 2020, jumlah orang Indonesia yang tinggal di daerah kumuh perkotaan sebanyak 29,929 juta jiwa pada 2020 menurut laporan Program Permukiman Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau UN Habitat.
Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS), persentase rumah tangga yang menempati rumah kumuh di Indonesia pada 2022 sebesar 8,93 persen.
Baca juga: 1 Miliar Orang di Dunia Tinggal di Permukiman Kumuh, Bagaimana Indonesia?
Jumlah ini menurun bila dibandingkan dua tahun sebelumnya yaitu 9,12 persen pada 2021 dan 10,04 persen pada 2020.
Penataan kawasan kumuh adalah salah satu target dalam tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Target penataan kawasan kumuh masuk dalam target 11 SDGs yaitu kota dan permukiman yang berkelanjutan.
Baca juga: Pemda Didorong Saling Belajar Tangani Permukiman Kumuh
Untuk mencapai target itu, penduduk yang tinggal di kawasan kumuh di dunia harus diberi dukungan yang mereka butuhkan untuk keluar dari kemiskinan dan ketidaksetaraan.
Perumahan yang layak dan terjangkau adalah kunci untuk meningkatkan kondisi kehidupan mereka.
Penataan kawasan kumuh tidak bisa dilepaskan dari faktor penyebabnya dan kriterianya. Lantas, apa saja itu?
Berikut faktor-faktor penyebab permukiman kumuh dan kriteria permukiman kumuh.
Baca juga: Jakarta dan Jabar, 2 Provinsi di Jawa yang Warganya Masih Banyak Tinggal di Rumah Kumuh
Dilansir dari The Sustainable Development Goals Report 2022 yang dirilis PBB, ada beberapa faktor penyebab dari permukiman kumuh. Faktor-faktor tersebut adalah:
Sedangkan menurut publikasi berjudul "Studi Literature: Identifikasi Faktor Penyebab Terjadinya Permukiman Kumuh Di Kawasan Perkotaan" yang diterbitkan Jurnal Kajian Ruang tahun 2021, ada berbagai macam faktor penyebab permukiman kumuh.
Baca juga: Upaya SMF Mengubah Wajah Kumuh Pesisir Kota Cirebon
Faktor-faktor penyebab permukiman kumuh menurut publikasi di jurnal tersebut ada empat yaitu:
Perekonomian adalah salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya permukiman kumuh. Pendapatan yang rendah membuat mereka kesulitan mendapatkan rumah yang layak huni bagi dirinya dan keluarganya.
Dengan pendapatan yang rendah, kemungkinan kemampuan untuk memperbaiki hunian dan lingkungannya menjadi sulit atau bahkan tidak mungkin.
Faktor ini berkaitan dengan lokasi dan ketersediaan lahan. Contohnya adalah wilayah perkotaan sudah terlalu padat sehingga sangat sulit mendapatkan lahan perumahan.
Faktor ini juga berkaitan erat dengan faktor pertama yaitu ekonomi. Semakin rendah pendapatan masyarakat, semakin sulit mendapat perumahan di kawasan perkotaan yang padat.
Fisik sebuah bangunan juga berkaitan dengan lingkungan yang ada. Jika kualitas bangunan rendah, maka kondisi bangunan akan cepat menurun.
Seiring berjalannya waktu, lingkungan di sekitarnya juga terdampak. Jika tidak dilakukan pengendalian, kondisi kawasan tersebut akan semakin memburuk.
Dalam beberapa kasus, masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh tidak terlalu terlalu memperhatikan situasi di lingkungannya.
Karena, fokus pemikiran mereka adalah bagaimana mereka bisa bertahan hidup di lingkungan tersebut. Efek psikologis inilah yang membuat mereka masih tinggal di permukiman kumuh atau memunculkan yang baru.
Baca juga: Benahi Kawasan Kumuh di Medan, SMF Salurkan Rp 1,5 Miliar
Apa saja kriteria permukiman kumuh? Ada beberapa kriteria mengapa sebuah permukiman disebut sebagai permukiman kumuh.
Menurut PBB, kriteria permukiman kumuh adalah penghuninya mengalami kekurangan sebanyak satu atau lebih dari lima indikator yaitu:
Baca juga: Ada Kampung Ekowisata di Tangsel, Dulunya Tempat Kumuh
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Permen PUPR) Nomor 14 tahun 2018 tentang Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh, ada kriteria yang lebih mendetail mengenai permukiman kumuh.
Kriteria atau ciri-ciri permukiman kumuh menurut Permen tersebut adalah:
Selain ketujuh kriteria permukiman tersebut, ada satu aspek tambahan yaitu ketersediaan Ruang Terbuka Publik (RTP).
Baca juga: Akhir 2023, Kawasan Talumolo di Gorontalo Bakal Tak Kumuh Lagi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya