JAKARTA, KOMPAS.com - Permukiman kumuh masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Pemerintah dan pemangku kepentingan terkait.
Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR mencatat, masih ada 4.170 hektar permukiman kumuh di seluruh Indonesia yang harus ditata dan ditangani.
Memang, dari tahu ke tahun, jumlah masyakarat yang menempati permukiman kumuh terus menunjukkan penurunan. Kendati begitu persoalan ini masih tetap perlu menjadi atensi.
Oleh karena itu, Ditjen Cipta Karya mendorong awareness (kesadaran) dari Pemerintah Daerah (Pemda) dalam menuntaskan sisa penanganan permukiman kumuh.
Baca juga: Spesifikasi Rumah Baru Korban Gempa Cianjur, Tipe 36 Dua Kamar Tidur
Hal ini merupakan upaya agar penanganan permukiman kumuh tidak selalu membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Jika permukiman kumuh masih tersisa ribuan hektar menunggu ditangani, bagaimana dengan warga yang tinggal di rumah kumuh?
Dokumen Badan Pusat Statistik (BPS) berjudul Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan 2022 menyebutkan, terdapat empat komponen penentu rumah kumuh, yakni ketahanan bangunan, kecukupan luas tempat tinggal, serta akses kepemilikan terhadap layanan sumber air minum dan sanitasi layak.
Aspek yang membedakan klasifikasi rumah layak huni dan rumah kumuh terletak pada adanya penimbang pada komponen penyusun rumah kumuh.
Ketahanan bangunan dan kecukupan luas tempat tinggal masing-masing memiliki bobot sebesar 35,00 persen.
Kedua komponen lain, yaitu kepemilikan akses terhadap layanan sumber air minum dan sanitasi layak masing-masing memiliki bobot sebesar 15,00 persen.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.