Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Ekspor Pasir Laut, Aktivis: Karpet Merah untuk Bisnis dan Oligarki

Kompas.com - 30/05/2023, 18:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com – Sejumlah pihak menolak atas dibukanya keran ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah mendesak pemerintah untuk segera mencabut PP tersebut karena saat ini laut butuh perlindungan.

“Sikap kami menolak kebijakan tersebut dan akan mendesak pemerintah untuk segera mencabut peraturan ini karena tidak relevan dimana saat ini laut kita butuh perlindungan bukan sebaliknya,” kata Afdillah kepada Kompas.com, Selasa (30/5/2023).

Baca juga: Selain Berdampak ke Lingkungan, Ekspor Pasir Laut Ganggu Kedaulatan Negara

Dalam Pasal 9 ayat (1) PP Nomor 26 Tahun 2023 disebutkan bahwa pasir laut dan/atau material sedimen lain berupa lumpur merupakan hasil sedimentasi di laut yang dapat dimanfaatkan.

Sedangkan Pasal 9 ayat (2) huruf d PP Nomor 26 Tahun 2023 menyebutkan sedimentasi laut bisa diekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebelum adanya PP tersebut, ekspor pasir laut sudah dilarang pemerintah sejak 2003 melalui Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tertanggal 28 Februari 2003.

“20 tahun lalu ekspor pasir ini ditutup karena memang terbukti merusak dan berdampak masif tetapi pemerintah sekarang seperti tidak belajar,” ujar Afdillah.

Baca juga: Ditanya Soal Izin Eskpor Pasir Laut, Mendag Zulhas Pilih Tak Mau Berkomentar

Dia menuturkan, pemerintah saat ini belum mempunyai instrumen pengawasan di lapangan yang dapat mengontrol aktivitas tambang. Hal ini akan membahayakan laut.

Afdillah menuding peraturan terbaru tersebut adalah greenwashing yang memberikan karpet merah untuk kepentingan bisnis dan oligarki.

“Dapat kita pastikan bahwa yang akan mendapatkan keuntungan paling besar dari penambangan pasir laut ini adalah mereka-mereka yang berada di lingkaran oligarki,” ucap Afdillah.

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Parid Ridwanuddin turut menuding bahwa peraturan tersebut diarahkan untuk kepentingan bisnis.

Baca juga: Bos Kadin Dukung Ekspor Pasir Laut, tapi soal Lingkungan Harus Diperhatikan

Terkait dengan peraturan larangan ekspor pasir laut sebelumnya, Parid menyebutkan bahwa peraturan terbaru adalah bukti pemerintah tidak dapat belajar.

“Kenapa dilarang ada pembelajarannya. Negara rugi, lingkungan rusak, masyarakat kehilangan pekerjaan,” kata Parid kepada Kompas.com, Senin (29/5/2023).

Parid menambahkan, efek dari dibukanya keran ekspor pasir laut adalah dampaknya terhadap lingkungan yang saat ini sudah sangat terdampak akibat perubahan iklim.

“(Efek) yang lain adalah memperparah dampak parah krisis iklim. Yang terlihat sekarang, pulau-pulau tenggelam, desa-desa (pesisir) tenggelam,” ucap Parid.

Menurut kajian dari Walhi, sejauh ini beberapa pulau kecil yang sudah tenggelam seperti di Kepulauan Seribu, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan lain-lain. Selain itu beberapa desa pesisir juga telah tenggelam.

Baca juga: Apa Itu Pasir Laut dan Dampaknya jika Dikeruk dan Diekspor?

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Akselerasi Kota Pintar Berkelanjutan, SCEWC Siap Gelar 'Smart City Awards 2024'

Akselerasi Kota Pintar Berkelanjutan, SCEWC Siap Gelar "Smart City Awards 2024"

Swasta
Dokter: Terpapar TBC Tidak Berarti Langsung Sakit, Ada Rentang Waktu

Dokter: Terpapar TBC Tidak Berarti Langsung Sakit, Ada Rentang Waktu

Pemerintah
Tantangan Jurnalis Saat Alami Kekerasan, Lambatnya Aparat Hukum

Tantangan Jurnalis Saat Alami Kekerasan, Lambatnya Aparat Hukum

Pemerintah
BKKBN: Cuti Ayah yang Ideal Maksimal 15 Hari, Bisa Fleksibel

BKKBN: Cuti Ayah yang Ideal Maksimal 15 Hari, Bisa Fleksibel

Pemerintah
Anggrek Langka Terancam Punah, BRIN Lakukan Upaya Konservasi

Anggrek Langka Terancam Punah, BRIN Lakukan Upaya Konservasi

Pemerintah
Paradigma Pengembangan Energi Cenderung ke Ekonomi, Bukan Lingkungan

Paradigma Pengembangan Energi Cenderung ke Ekonomi, Bukan Lingkungan

LSM/Figur
Dorong Pertumbuhan TK Ahli Indonesia, Matsushita Kirim 84 Peserta Magang ke Jepang

Dorong Pertumbuhan TK Ahli Indonesia, Matsushita Kirim 84 Peserta Magang ke Jepang

Swasta
Penggundulan Hutan Kawasan Konservasi Jadi Sinyal Bahaya, Terbanyak di Papua

Penggundulan Hutan Kawasan Konservasi Jadi Sinyal Bahaya, Terbanyak di Papua

LSM/Figur
Perempuan Lebih Rentan Terdampak Perubahan Iklim, Ini Sebabnya

Perempuan Lebih Rentan Terdampak Perubahan Iklim, Ini Sebabnya

Pemerintah
Biochar TKKS, Produk Penyerap Karbon Perdana dari Neutura

Biochar TKKS, Produk Penyerap Karbon Perdana dari Neutura

Swasta
AJI Indonesia: Kekerasan terhadap Jurnalis Perempuan Harus Diintervensi

AJI Indonesia: Kekerasan terhadap Jurnalis Perempuan Harus Diintervensi

LSM/Figur
Slovakia Setop Produki Listrik dari PLTU, Andalkan PLTN dan Energi Terbarukan

Slovakia Setop Produki Listrik dari PLTU, Andalkan PLTN dan Energi Terbarukan

Pemerintah
Manfaat Teknologi Penginderaan Jauh, Dukung Ketahanan Pangan Nasional

Manfaat Teknologi Penginderaan Jauh, Dukung Ketahanan Pangan Nasional

Pemerintah
45 Persen Jurnalis Alami Kekerasan, Perempuan Paling Rentan

45 Persen Jurnalis Alami Kekerasan, Perempuan Paling Rentan

LSM/Figur
Peneliti BRIN: Desa Inovasi Berperan Penting dalam Membangun Indonesia

Peneliti BRIN: Desa Inovasi Berperan Penting dalam Membangun Indonesia

Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com