JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia kini sedang mengalami fenomena Digital Divide. Tak terkecuali di dunia pendidikan tinggi.
Ada kampus yang dilengkapi fasilitas digital komplet karena mampu membuat sistem akademik sendiri dengan biaya miliaran rupiah, tapi masih banyak kampus yang hingga kini memiliki fasilitas digital terbatas.
Kampus-kampus dengan fasilitas digital terbatas ini, akhirnya belajar menggunakan papan tulis kapur, melakukan proses pendaftaran dan pembayaran kuliah manual, seluruh proses administrasi dan birokrasi masih menggunakan kertas.
Kondisi ini terjadi tidak hanya di daerah terluar Indonesia, juga di Pulau Jawa. Utamanya di kampus swasta dengan jumlah mahasiswa sedikit.
Baca juga: Martabe Dukung Peningkatan Kualitas Pendidikan Vokasi Pertanian
Hal ini mengemuka dalam webinar bersama Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Dr Budi Djatmiko dan Chief Marketing Officer dari Education Technology SEVIMA Andry Huzain, Selasa (4/7/2023).
"Oleh karenanya fenomena ini disebut sebagai digital divide. Kampus bukan dipisahkan oleh jarak, tapi oleh kemampuan digital," ujar Budi.
Dampaknya sangat signifikan, kampus yang sudah mendigitalisasi seluruh aspek akademiknya, diminati jutaan calon mahasiswa.
Sedangkan kampus kecil yang tidak melakukan digitalisasi, pasti akan tersisih, akhirnya jumlah pendaftar dan kemampuan keuangannya makin sedikit, dan makin sulit lagi untuk melakukan digitalisasi.
"Karena itu, kampus sudah waktunya di-cloud, ada di awan!," cetus Budi.
Kerja sama SEVIMA dan APTISI merevolusi paradigma digitalisasi kampus dan memecahkan kesenjangan digital dengan menyajikan alternatif terbaru.
Baca juga: Huawei Gandeng Kemendikbudristek, Revolusi Sistem Pendidikan Nasional
Kini, digitalisasi tak harus dilakukan kampus dengan membuat aplikasi sendiri, tapi cukup menggunakan aplikasi yang tidak perlu mengadopsi server fisik sama sekali. Semuanya berbasis cloud dan keamanannya telah tersertifikasi secara internasional.
Secara teknis, aplikasi ini berbasis Software as a Service (SaaS). Dengan disrupsi biaya dan teknologi tersebut, SEVIMA melayani lebih dari 800 kampus dan 3 juta mahasiswa seluruh Indonesia sebagai penggunanya.
Sistem Akademik berbasis SaaS yang dikembangkan Education Technology SEVIMA, kemudian disebut sebagai “SEVIMA Platform”, merevolusi digitalisasi kampus karena mampu menghadirkan solusi atas berbagai masalah administrasi kampus.
"Masalah seperti proses penerimaan mahasiswa, pembayaran kuliah, pembelajaran online, akreditasi, penerbitan ijazah, hingga pelaporan data kampus kepada pemerintah, yang dulunya harus diinput satu persatu melalui excel, dicetak, ataupun lewat aplikasi yang beragam," tutur Andry.
Baca juga: Mengenal Tujuan 4 SDGs: Pendidikan Berkualitas
Dengan SEVIMA Platform, semua proses tersebut bisa berlangsung serba otomatis dan saling terintegrasi.
Kehadiran SEVIMA juga diklaim mampu mendemokratisasi digitalisasi dan integrasi business process pengelolaan kampus, karena akhirnya fasilitas ini dapat diakses oleh masyarakat luas. Baik melalui laptop ataupun gawai pintar.
"Bagian dari ekosistem platform kami, SevimaPay, juga menjadi payment aggregator di 800 kampus untuk bisa membayar uang kuliah melalui minimarket. Nampaknya sederhana, tapi sangat berarti bagi mahasiswa yang sebelumnya harus bayar manual di kampus dan belum memiliki akses ke perbankan. Inilah cara kita untuk memecahkan kesenjangan digital," ungkap Andry.
Perjuangan mendemokratisasi akses digital di kampus akan terus dilakukan SEVIMA sesuai dengan misi perusahaan, #RevolutionizeEducation.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya