KOMPAS.com – Selama tiga hari dalam sepekan pada awal Juli 2023, Bumi mengalami hari terpanas sepanjang sejarah sejak pencatatan dilakukan.
Untuk diketahui, Bumi sebelumnya mencatatakan rekor terpanasnya pada Agustus 2016. Kala itu, suhu rata-rata di seluruh dunia adalah 16,92 derajat celsius.
Akan tetapi pada Senin 3 Juli 2023, rekor hari terpanas terpecahkan di mana suhu rata-rata Bumi mencapai 17,01 derajat celcius.
Baca juga: Senin 3 Juli, Bumi Alami Hari Terpanas Sepanjang Sejarah
Rekor hari terpanas kembali terpecahkan pada Selasa 4 Juli 2023 dengan suhu rata-rata Bumi mencapai 17,18 derajat celcius.
Dan pada Kamis 6 Juli 2023, rekor hari terpanas sepanjang sejarah kembali pecah setelah suhu rata-rata Bumi tercatat 17,23 derajat celsius.
Beberapa hari sebelumnya, gelombang panas hebat dilaporkan terjadi di sejumlah wilayah AS dan China, sebagaimana dilansir Reuters.
Pada Kamis, Copernicus Climate Change Service (C3S) melaporkan bahwa Juni adalah bulan terpanas sepanjang sejarah, memecahkan rekor Juni sebelumnya pada 2019.
Baca juga: Tahun 2023, Inggris Alami Juni Paling Panas Sepanjang Sejarah
Ilmuwan iklim dari Berkeley Earth, Robert Rohde, menyampaikan bahwa catatan-catatan tersebut tak terelakkan akibat aktivitas manusia yang membuat planet semakin panas.
“Catatan-catatan seperti itu adalah konsekuensi yang dapat diprediksi dari peningkatan suhu El Nino jangka pendek yang muncul di atas tren pemanasan global jangka panjang karena emisi gas rumah kaca manusia,” kata Rohde di Twitter.
Para ilmuwan meyakini bahwa pemanasan global yang semakin parah disebabkan oleh lepasnya emisi gas rumah kaca (GRK) yang tak terkendali.
Dalam laporan iklim komprehensif terakhir yang diterbitkan pada Mei, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa pemanasan global dan perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia adalah konsekuensi dari lepasnya banyak emisi GRK selama lebih dari sebadad lalu.
Baca juga: Eropa Jadi Benua yang Menghangat Paling Cepat karena Pemanasan Global
Sumber-sumber emisi GRK berasal dari penggunaan energi fosil, perubahan penggunaan lahan, gaya hidup, pola konsumsi, dan pola produksi.
Konsumsi energi fosil global meningkat lebih dari dua kali lipat dalam 50 tahun terakhir, karena negara-negara di seluruh dunia berambisi meningkatkan standar hidup perekonomian.
Pada 1971, dunia mengkonsumsi sekitar 4 miliar metrik ton minyak. Pada 2018, jumlahnya melampaui 8 miliar metrik ton, sebagaimana dilansir dari Earth.org.
Pada Mei, level karbon dioksida di atmosfer mencapai 424 parts per million (ppm), menurut badan atmosfer dan kelautan AS, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).
Baca juga: Waspada DBD Meski Cuaca Panas Akibat Fenomena El Nino
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya