Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 03/08/2023, 19:04 WIB
Irawan Sapto Adhi,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

MAGELANG, KOMPAS.com – Ribuan ikan di kolam mati. Sementara, tanaman padi di beberapa petak sawah tak lagi berbuah maksimal.

Keberadaan limbah tahu yang dibuang secara serampangan oleh para pemilik pabrik benar-benar merugikan warga Desa Sambak, Kecamatan Kajoran, Magelang, Jawa Tengah (Jateng).

Sejumlah penduduk pun harus dihadapkan dengan polusi udara berupa bau tidak sedap.

Baca juga: Pembangkit Listrik EBT Baru Naik 91 MW, Energi Fosil Bertambah 900 MW

Namun, persoalan pencemaran lingkungan di Sambak itu kini tinggal kenangan.

Limbah tahu sudah berhasil disulap menjadi biogas dan berbalik memberi manfaat bagi warga.

Berkat kesuksesan dalam mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) itu, Desa Sambak diganjar penghargaan Desa Mandiri Energi (DME) kategori mapan dari Pemprov Jateng pada tahun 2022.

Tak hanya itu, Sambak juga menyandang tahbis Desa Program Iklim (Proklim) Kategori Lestari sejak 2021, peringkat tertinggi di bidangnya.

Cerita inspiratif tersebut bermula ketika Pemerintah Desa (Pemdes) Sambak mencoba mengadukan keluhan masyarakat terkait masalah limbah tahu ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi Jateng pada 2014.

Mereka lalu menerima saran untuk mengajukan proposal pembuatan instalasi biogas. Selang setahun, Dinas LHK pun merealisasikan usulan tersebut.

Dari 12 pabrik tahu yang ada di Desa Sambak, kebanyakan beroperasi di wilayah Dusun Sindon. Dengan ini, instalasi pertama dibangun di sana.

Kepala Dusun (Kadus) Sindon Suryadi menuturkan, instalasi biogas di wilayahnya mulai dioperasikan pada awal 2016. Dari situlah limbah tahu yang tadinya hanya menimbulkan masalah, berganti membawa berkah.

Baca juga: Mengolah Sampah Organik Jadi Biogas

“Pembuangan limbah tahu diprotes warga habis-habisan pada 2013 karena sangat mengganggu lingkungan. Mereka bahkan minta pabrik ditutup saja,” ujar dia saat berbincang dengan Kompas.com, Minggu (30/7/2023).

Menurut Suryadi, ketika memakai biogas, sejumlah warga jadi bisa berhemat karena tak perlu lagi membeli tabung gas elpiji untuk mencukupi kebutuhan energi sehari-hari.

Karena nyata memberi manfaat pada warga, Pemdes pun kemudian berupaya mengembangkan pemanfaatan biogas.

Kepala Desa Sambak Dahlan mengatakan, Pemdes menganggarkan dana desa Rp 135 juta pada 2019 untuk membangun digester baru yang berfungsi mengubah limbah cair produksi tahu menjadi biogas.

Selang dua tahun, Sambak meraup giliran untung dengan menerima bantuan pembangunan dua unit digester dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jateng.

Dahlan bersyukur, biogas hasil pengolahan limbah tahu dari para pelaku usaha di wilayah Sindon sekarang bisa dirasakan juga oleh sejumlah warga di dusun lain. Di samping itu, para pengarjin tahu bisa terus beroperasi dengan menyerap tenaga kerja dari lingkungan sekitar.

Baca juga: Optimalisasi EBT Dukung Ketahanan Energi Nasional

Warga rasakan manfaat besar

Benar saja, warga Dusun Miriombo RT 015/RW 006 Muhammad Kurniadi (30) yang karib disapa Adi mengaku sangat terbantu dengan adanya penyediaan instalasi biogas dari limbah tahu di desanya.

Bagaimana tidak, keluarganya kini tak perlu lagi membeli elpiji untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar sehari-hari.

Bahkan, dia sekarang turut memanfatkan sumber energi alternatif tersebut untuk mendukung usaha kedai kopinya.

Adi mengatakan, jika tak menggunakan biogas, keluarganya bisa habis 7-8 tabung elpiji ukuran 3 kg per bulan untuk urusan dapur dan warung.

Sekarang ceritanya lain. Keluarganya hanya perlu membayar iuran Rp15.000 per bulan kepada Kelompok Pengelola Biogas Lestari Desa Sambak sebagai syarat terus memperoleh pasokan biogas.

“Kami bisa berhemat banyak sejak ikut pakai biogas. Untuk beli satu gas melon saja, kami harus siap uang Rp 22.000. Ini lebih besar ketimbang nilai iuran biogas,” ungkap Adi.

Selama memanfaatkan biogas, dia bercerita tak pernah mengalami kendala berarti. Menurut Adi, pasokan biogas yang masuk ke rumah dan warungnya sejauh ini terpantau stabil.

Nyala api di kompor warga Desa Sambak, Kecamatan Kajoran, Magelang, Jawa Tengah (Jateng), yang memanfaatkan biogas sebagai sumber bahan bakar. Dok. Kadus Sindon Suryadi Nyala api di kompor warga Desa Sambak, Kecamatan Kajoran, Magelang, Jawa Tengah (Jateng), yang memanfaatkan biogas sebagai sumber bahan bakar.
Sebaliknya, dia justru merasa lebih puas karena api yang keluar di kompor bisa lebih besar daripada ketika memakai elpiji.

“Apinya sama berwarna biru. Bedanya, pakai biogas ini malah proses memasak jadi lebih mudah karena apinya besar,” cetusnya.

Warga Dusun Sindon Ngasiah juga mengaku sangat terbantu dengan adanya biogas hasil pengolahan limbah tahu di wilayahnya.

Dia pun turut memanfaatkan biogas untuk mendukung usaha kecilnya dalam memproduksi tempe gembus. Sebelum pakai biogas, Ngasiah bisa habis 5-10 tabung elpiji per bulan.

Baca juga: Pembangkit Listrik EBT 2060 Ditarget 700 GW, Capaian 2022 Masih 12,5 GW

“Keberadaan biogas ini menekan pengeluaran kami. Sebelum 2021 lalu, warga malah cuma ditarik iuran operasional Rp 10.000 per bulan sesuai kesepakatan,” ungkapnya.

Pemilik pabrik tahu diuntungkan

Bagaimana dengan para pemilik pabrik tahu? Tentu saja, mereka yang sebelumnya menjadi penyebab masalah, mengaku ikut diuntungkan dengan adanya pengembangan biogas tersebut.

Asrofi (50) misalnya, menyebut pengadaan instalasi biogas utamanya telah membuat hubungan sosial antara pengrajin tahu dengan masyarakat sekitar membaik.

Dia juga sekarang merasa lebih tenang karena tidak lagi membuang limbah dengan keliru.

“Dulu saya membuang limbah tahu ke sawah sendiri, tetapi memang belum diolah. Jadi airnya masih bau dan dianggap membahayakan lingkungan. Kini saya merasa lega karena limbah larinya ke digester,” ucapnya.

Asrofi turut memanfaatkan biogas untuk mencukupi kebutuhan energi di rumah maupun mendukung bisnisnya.

Kaitannya dengan produksi tahu, dia mengaku tak pernah memakai biogas untuk merebus sari kedelai di pabrik karena khawatir bisa mengganggu pasokan ke rumah warga.

Sumber energi terbarukan itu hanya dia gunakan sebagai bahan bakar memasak makanan untuk para pekerja pabrik yang berjumlah 14 orang.

Dengan memakai biogas, Asrofi mengaku bisa menghemat pembelian 8-10 tabung elpiji 3 kg per bulan.

“Dulu satu tabung gas melon itu habis untuk 3 hari saja. Jadi, saya butuh banyak. Kalau (elpiji) pas langka, ya kebingungan. Kadang harganya juga naik,” tutur Asrofi yang memproduksi tahu sejak tahun 1996.

Target 100 persen warga tersambung biogas

Saat dimintai informasi, Ketua Pengelola Biogas Lestari Desa Sambak Usman menyebut, saat ini ada 68 KK yang sudah memanfaatkan biogas di Sambak. Mereka tersambung ke instalasi secara bertahap dari 2016 hingga 2019.

Dari jumlah itu, 50 KK berada di Dusun Sindon, 4 KK di Miriombo, 8 KK di Sambak 1, dan 6 KK di Punduan. Para warga menerima biogas dari enam digester yang sudah terbangun.

Usman menuturkan, Kelompok Pengelola Biogas Lestari Desa Sambak tidak akan bekerja sampai di sini saja dalam mengupayakan pengembangan energi baru terbarukan.

Dia menegaskan, Kelompok Pengelola sudah memiliki cita-cita bisa membuat 100 persen warga merasakan manfaat biogas.

Baca juga: Harga Keekonomian EBT Belum Kompetitif, Perlu Implementasi Nilai Karbon

Menurut Usman, masih ada beberapa cara yang bisa dilakukan Kelompok Pengelola untuk menambah cakupan penerima biogas.

Misalnya, Kelompok Pengelola telah memiliki rencana mengupayakan pembangunan digester baru untuk menampung limbah tahu dari dua pabrik yang belum terfasilitasi.

Kemudian, Kelompok Pengelola juga ingin menyasar pemanfaatan kotoran ternak dan limbah komunal warga untuk juga dijadikan biogas.

“Target kami kan ingin mewujudkan desa mandiri energi yang benar-benar nyata, bukan cuma jadi slogan atau atribut. Kami masih punya potensi limbah ternak dan limbah komunal warga yang belum dimanfaatkan,” jelas Usman.

Meski belum semua warga tersambung energi baru-terbarukan, Desa Sambak kerap menjadi rujukan studi banding dari desa maupun daerah lain. Beberapa pengunjung bahkan datang dari luar Jawa, seperti Samarinda, Kalimantan Timur, dan Muara Enim, Sumatera Selatan.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com