Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejumlah Negara Diduga Manipulasi Laporan Serapan Karbon dari Hutan

Kompas.com, 29 April 2025, 11:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Sejumlah negara besar diduga memanipulasi laporan mengenai kapasitas penyerapan karbon dioksida oleh hutan mereka guna memenuhi komitmen iklim yang sudah dijanjikan.

Dugaan tersebut mengemuka berdasarkan laporan dari lembaga penelitian Climate Analytics dalam laporannya yang dirilis pada Kami (24/4/2025).

Lembaga itu menyebutkan, manipulasi itu ada karena kelemahan aturan dan regulasi internasional yang mengatur penghitungan penyerapan karbon. Celah-celah dalam regulasi memberikan peluang untuk menggelembungkan angka penyerapan emisi gas rumah kaca (GRK).

Baca juga: PLN Ungkap Perdagangan Karbon Capai 336.000 Ton CO2 di 2025

Penyerap karbon seperti tanah, hutan, dan lahan basah memang dapat menyerap sebagian karbon dioksida yang dipancarkan oleh aktivitas manusia, sebagaimana dilansir Energy News, Jumat (25/4/2025).

Namun, area alami ini sulit untuk dinilai secara akurat. Para ilmuwan khawatir, area tersebut menyerap lebih emisi GRK sedikit karena dampak perubahan iklim, seperti kebakaran hutan yang lebih sering terjadi. 

Di sisi lain, sejumlah negara masih mengadopsi asumsi optimistis terhadap kemampuan hutan dalam penyerapan karbon. Manipulasi semacam itu dapat meningkatkan neraca karbon nasional mereka. 

Pendekatan optimistis tersebut memungkinkan beberapa negara menyajikan neraca penyerapan karbon yang lebih menguntungkan sambil menunda transisi energi mereka. 

Laporan dari Climate Analytics memperingatkan, praktik-praktik ini mengaburkan skala dan kecepatan pengurangan emisi bahan bakar fosil yang dibutuhkan setiap negara untuk melakukan perannya berdasarkan Perjanjian Paris.

Baca juga: Amex GBT Perkenalkan Fitur Untuk Dorong Perjalanan Rendah Karbon

Kelemahan aturan internasional

Laporan tersebut mengecam tidak adanya aturan ketat untuk mengatur asumsi tentang kinerja penyerap karbon.

Untuk diketahui, Perjanjian Paris 2015 memungkinkan setiap negara untuk merumuskan estimasi sendiri. Sehingga, setiap negara cukup fleksibel mengatur dirinya sendiri.

Salah satu penulis laporan tersebut, Claudio Forner, menuturkan ketiadaan aturan yang jelas dan fleksibilitas yang ada membuat beberapa negara bisa "mengakali" celah-celah yang ada.

Forner menuturkan, tanpa aturan ketat, negara-negara ini terus meningkatkan pengurangan emisi mereka secara artifisial yang menghambat aksi iklim yang ambisius.

Menurut para ahli Climate Analytics, ketidakpastian seputar efektivitas penyerap karbon dapat mencapai hingga tiga miliar ton karbon dioksida, volume yang setara dengan emisi tahunan Uni Eropa.

Baca juga: GCCA Luncurkan Peringkat Rendah Karbon untuk Semen Berkelanjutan

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Tuntaskan Program KMG-SMK, BNET Academy Dorong Penguatan Kompetensi Guru Vokasi
Swasta
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Harapan Baru, Peneliti Temukan Cara Hutan Tropis Beradaptasi dengan Iklim
Pemerintah
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
Jutaan Hektare Lahan Sawit di Sumatera Berada di Wilayah yang Tak Layak untuk Monokultur
LSM/Figur
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Industri Olahraga Global Bisa Jadi Penggerak Konservasi Satwa Liar
Swasta
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
FAO: Perluasan Lahan Pertanian Tidak Lagi Memungkinkan
Pemerintah
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Banjir Sumatera Disebabkan Kerusakan Hutan, Anggota DPR Ini Minta HGU Ditiadakan
Pemerintah
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
Pupuk Indonesia: Jangan Pertentangkan antara Pupuk Organik dan Kimia
BUMN
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
PLN Kelebihan Pasokan, Proyek WtE Dikhawatirkan Hanya Bakar Uang
LSM/Figur
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Ekonomi Hijau Diprediksi Capai 7 Triliun Dolar AS per Tahun pada 2030
Pemerintah
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Skema Return dan Reuse Disebut Bisa Kurangi Polusi Plastik dalam 15 Tahun
Pemerintah
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
Ketika Anak-anak Muda Mulai Berinisiatif untuk Lestarikan Lingkungan...
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau