Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 03/08/2023, 21:00 WIB
Irawan Sapto Adhi,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

SEMARANG, KOMPAS.com - Program Desa Mandiri Energi (DME) di Provinsi Jawa Tengah (Jateng) yang digagas sejak 2012 terus berkembang secara progresif.

Hingga Juni 2023, sudah ada 2.421 desa yang ditetapkan sebagai DME atau 28,2 persen dari total 8.562 desa dan kelurahan di Jateng.

Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jateng Boedyo Dharmawan menjelaskan, penghargaan DME diberikan sebagai bentuk apresiasi kepada desa dan masyarakat yang telah mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) sesuai potensi di wilayah masing-masing.

Baca juga: Pembangkit Listrik EBT Baru Naik 91 MW, Energi Fosil Bertambah 900 MW

“Program DME ini untuk mendorong atau memotivasi partisipasi masyarakat dalam mengembangkan energi terbarukan,” jelas dia saat diwawancari Kompas.com belum lama ini.

Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jateng, Boedya Dharmawan, menjelaskan penghargaan Desa Mandiri Energi (DME) diberikan sebagai bentuk apresiasi kepada desa dan masyarakat yang telah mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) sesuai potensi di wilayah masing-masing belum lama ini.KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jateng, Boedya Dharmawan, menjelaskan penghargaan Desa Mandiri Energi (DME) diberikan sebagai bentuk apresiasi kepada desa dan masyarakat yang telah mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) sesuai potensi di wilayah masing-masing belum lama ini.
Penetapan desa mandiri energi oleh Dinas ESDM Jateng dibagi menjadi tiga kategori, yakni mapan, berkembang, dan inisiatif.

Pembagian itu merujuk pada hasil penilaian terhadap sejumlah aspek, seperti pendanaan, pengelolaan atau kelembagaan, persentase pemanfaatan, dampak ekonomi, serta inovasi.

Secara garis besar, sebuah desa akan layak ditetapkan sebagai DME kategori mapan apabila ditemukan jumlah pemanfaat EBT telah meluas, pembangunan infrastruktur EBT termasuk dari swadaya masyarakat, kelembagaan telah berjalan baik, iuran sudah berjalan, dan terdapat inovasi yang dilakukan.

Sementara, DME kategori berkembang memiliki kriteria ada infrastruktur EBT baik itu dari bantuan pemerintah, swasta, atau pihak lain, dan telah terbentuk kelembagaan meski belum berjalan baik.

Sedangkan, DME kategori inisiatif mempunyai ciri pemanfaat EBT masih per individu dan kelembagaan yang belum berjalan baik.

Baca juga: Pembangkit Listrik EBT 2060 Ditarget 700 GW, Capaian 2022 Masih 12,5 GW

Kebanyakan DME di Jateng masih berada pada kategori inisiatif. Angka detailnya sampai Juni 2023, yaitu 25 DME mapan, 158 DME berkembang, dan 2.238 DME inisiatif.

Terkait hal itu, Dinas ESDM Jateng berkomitmen akan berupaya terus menambah jumlah DME ke depan, dan mendorong DME yang telah ada dapat “naik kelas”.

“Masih ada banyak proyek EBT yang belum berjalan dengan baik dan berkelanjutan, terutama pada pengelolaan dalam pemeliharaan. Tantangan transisi energi ini akan coba kami atasi,” ucap Boedyo.

Dia berharap program Desa Mandiri Energi bisa menjadi pintu transisi bagi masyarakat untuk lepas ketergantungan dengan sumber energi fosil dan beralih ke sumber energi ramah lingkungan.

Sumber energi ramah lingkungan yang dia maksud di antaranya, Pembangkit Listrik tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Angin (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), panas bumi, serta pemanfaatan energi non-listrik, seperti biodiesel, biogas, biomassa, dan gas rawa (biogenic shallow gas).

“Kami ingin mendorong setiap desa bisa mengembangkan EBT sesuai potensi lokal yang dimiliki. Misalnya, di desa itu ada banyak warga punya ternak, ya ayo manfaatkan kotorannya untuk dijadikan biogas. Jika ada aliran air dengan debit cukup, desa bisa kembangkan PLTMH, dan seterusnya,” tutur Boedyo.

Selama ini Dinas ESDM Jateng gencar menyosialisasikan pentingnya bagi desa untuk mengembangkan EBT. Dinas ESDM ingin masyarakat paham bahwa EBT didapat dari sumber alam yang terbarukan dan tak akan habis.

Ini berbeda dengan sumber energi fosil, seperti minyak bumi dan batu bara yang terbatas. Di samping itu, sumber energi fosil bisa menghasilkan emisi gas rumah kaca yang merusak lingkungan.

Baca juga: Harga Keekonomian EBT Belum Kompetitif, Perlu Implementasi Nilai Karbon

“Dengan menggunakan energi baru terbarukan, masyarakat berarti ikut berkontribusi dalam membantu mengurangi jejak karbon dan membantu mengatasi perubahan iklim,” terang dia.

Boedyo pun menyampaikan beberapa hasil pembangunan EBT yang telah dicapai di wilayah Jateng.

Dinas ESDM mencatat total kapasitas biogas di Jateng hingga tahun 2023 ini telah mencapai lebih kurang 30.000 meter kubik.

Capaian tersebut tidak lepas dari andil Dinas ESDM yang telah mengalokasikan anggaran pada 2020 untuk membangun biogas sejumlah 37 unit dan pada 2021 sebanyak 103 unit.

Selain itu, ada juga pembangunan biogas dari OPD lain di Pemprov Jateng, APBD Kabupaten/Kota, APBN Kementerian ESDM, bantuan swasta, maupun swadaya masyarakat.

Sementara itu, untuk pembangunan PLTS Atap, tercatat sudah ada sekitar 545 unit pengguna PLTS Atap on grid maupun off grid di Jateng dengan total kapasitas mencapai 25.000 kWp hingga pertengahan Maret 2023.

Dinas ESDM juga telah mendorong pemanfaatan gas rawa di sejumlah daerah di Jateng. Hingga Agustus ini, pembangunan infrastruktur instalasi perpipaan gas rawa telah mencapai enam unit yang terletak di empat kabupaten berbeda. Instalasi itu sudah dimanfaatkan oleh lebih dari 300 kepala keluarga (KK).

Buka lapangan kerja dan diversifikasi ekonomi

Kepala Bidang (Kabid) EBT Dinas ESDM Jateng Eni Lestari menjelaskan, program desa mandiri energi jelas tak akan berhasil tanpa adanya pergerakan atau semangat dari masyarakat.

Kabid EBT ESDM Jateng Eni Lestari saat ditemui Kompas.com di kantornya.KOMPAS.COM/Titis Anis Fauziyah Kabid EBT ESDM Jateng Eni Lestari saat ditemui Kompas.com di kantornya.
Oleh sebab itu, dalam mendorong terwujudnya DME, Dinas ESDM selama ini lebih banyak bergerak mengajak berbagai pihak untuk bersama-sama meningkatkan literasi masyarakat terhadap EBT.

“Nomor satu kalau kita bicara pengelolaan desa mandiri energi atau berbasis potensi setempat, itu pengelolaannya. Nah, pengelola ini siapa? Kan masyarakat. Kami inginnya DME ini tetap sustain. Enggak sebentar jalan, terus mati,” ungkap dia.

Desa yang mengandalkan EBT akan sangat diuntungkan karena dapat menjadi lebih mandiri secara energi.

Dengan memanfaatkan sumber daya alam setempat, mereka menjadi bisa mengurangi ketergantungan pada pasokan energi dari luar daerah atau negara.

Alhasil, masyarakat jadi tak terlalu terpengaruh dengan risiko fluktuasi harga bahan bakar dan ketidakstabilan pasokan energi di luar.

Baca juga: Cerita Gembira Warga Banjarnegara-Karanganyar Usai Beralih ke Gas Rawa

“Untuk sekarang memang akses masyarakat terhadap energi fosil masih terbilang mudah. Tapi, bagaimana ke depan? Sebagai contoh elpiji, saat ini saja sudah banyak warga yang mengeluh susah memperolehnya. Jika ada, kadang harganya naik atau jadi lebih mahal,” ujar Eni.

Terlebih, pengembangan DME juga bisa menciptakan lapangan pekerjaan dan mengembangkan sektor ekonomi baru di desa, atau dikenal dengan istilah diversifikasi ekonomi.

“Di instalasi gas rawa misalnya, itu kan perlu tenaga kerja lokal untuk pemasangan dan pemeliharaan. Kemudian, saat ini sudah ada masyarakat yang memanfaatkan gas rawa untuk meningkatkan perekonomian lewat usaha makanan. Pariwisata hijau masih bisa juga diharap,” ucapnya.

Saat disinggung investasi awal untuk membangun infrastruktur energi baru terbarukan, Eni mengakui, relatif cukup besar baik untuk biogas, tenaga air, tenaga surya, maupun gas rawa.

Namun, dalam jangka panjang, biaya operasional dan pemeliharaannya cenderung lebih rendah daripada sumber energi konvensional. Dengan begitu, masyarakat desa dapat menghemat biaya energi jangka panjang dengan beralih ke EBT.

“Semua pihak sebaiknya terlibat”

Saat dimintai pendapat, Manager Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform (IESR) Marlistya Citraningrum mengapresiasi pelaksanaan program Desa Mandiri Energi di Jateng.

Penghargaan DME memberikan ruang apresiasi untuk desa dan komunitas masyarakat yang telah memanfaatkan energi terbarukan di sekitar mereka.

Dngan mengangkat DME dan memberikan penghargaan pada desa-desa ini, Pemerintah akan diuntungkan karena akan ada lebih banyak contoh praktik kontekstual dengan kondisi masyarakat, baik dari segi sumber energi ataupun manfaat yang bisa diterima.

“Hal ini bisa memperkaya khazanah transisi energi berbasis akar rumput dan menjadi contoh untuk desa atau lokasi lain,” ujar Citra.

Saat ditanya apakah mungkin semua desa di Jateng mandiri energi, Citra menyebut, semua desa atau lokasi di Indonesia pada dasarnya bisa memanfaatkan energi terbarukan setempat untuk mengurangi penggunaan sumber energi fosil.

Dia mendukung, energi yang selama ini dibutuhkan untuk aktivitas sehari-hari, produktif, dan berbagai layanan dasar dalam bentuk listrik, bahan bakar memasak, atau transportasi bisa digantikan secara bertahap dengan energi terbarukan.

Baca juga: Menggali Potensi Gas Rawa di Jateng dan Pemanfaatannya

Misalnya, energi listrik untuk sekolah, ruang publik, lampu jalan, bisa menggunakan tenaga surya. Demikian juga untuk alat-alat pertanian.

Sementara, energi untuk memasak seperti elpiji atau kayu bakar, bisa digantikan dengan biogas dari kotoran ternak atau sampah organik.

Sumber-sumber energi terbarukan inilah yang perlu diidentifikasi termasuk jumlahnya sehingga bisa dilakukan perencanaan yang matang untuk pemanfaatannya, dibentuk kelembagaan yang baik, dan manfaatnya bisa dirasakan sebanyak mungkin kalangan.

Dia mengingatkan, transisi energi membawa prinsip demokrasi dan desentralisasi, bukan hanya dari sumber energi terbarukan yang tersebar, melainkan juga dari sisi pengelolaan. Dengan demikian, semua pihak mungkin untuk bisa berpartisipasi.

Menurut IESR, “kemandirian energi” tak harus dibatasi oleh siapa pengelolanya, melainkan memasukkan prinsip inklusivitas (semua pihak sebaiknya terlibat), inovatif dan kontekstual (menjawab kebutuhan dan permasalahan setempat), fokus pada energi terbarukan (peran aktif mengurangi emisi), dan berkelanjutan secara kelembagaan (memiliki pengelolaan yang baik dan akuntabel).

Tenaga surya jadi sumber energi terbarukan paling demokratis

Secara umum, energi surya merupakan sumber energi terbarukan yang paling demokratis di Indonesia.

Sebab, semua orang bisa mengakses sinar matahari, bisa dipakai dari skala paling kecil hingga besar, dan teknologi yang tersedaia saat ini memungkinkan pemanfaatan secara luas.

Jateng sendiri memiliki potensi energi surya yang berlimpah. Untuk rumah tangga saja, jika semua rumah dipasang PLTS atap dengan asumsi luasan atap tertentu, potensi teknisnya mencapai 109 gigawatt.

Selain itu, Jateng juga memiliki potensi PLTMH yang cukup banyak, mengingat banyak sungai maupun anak sungai yang terdapat di seluruh wilayahnya dan dapat dimanfaatkan.

Begitu pula dengan potensi biogas dari limbah atau sampah organik, seperti kotoran ternak dan pengolahan tempe atau tahu, serta biomassa berupa sampah pertanian dan industri mebel atau sejenisnya.

Baca juga: PLTMH dan PLTS Inovasi Dosen Itera Berhasil Terangi 20 Rumah Warga

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com