KOMPAS.com – Indonesia memanfaatkan opsi pembiayaan campuran atau blended finance karena dinilai menjadi salah satu sumber alternatif untuk mengejar transisi energi bersih pada 2060.
Hal tersebut disampaikan Direktur Konservasi Energi, Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Gigih Udi Atmo di sela Forum Pembiayaan Energi ASEAN di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Rabu (23/8/2023).
“Indonesia memanfaatkan blended finance dari PT SMI (Sarana Multi Infrastruktur) dan dari ADB (Bank Pembangunan Asia),” kata Gigih, sebagaimana dilansir Antara.
Baca juga: ASEAN Perlu Bekerja Sama Akselerasi Transisi Energi
Selain itu, ada juga dukungan keuangan internasional melalui program pendanaan Kemitraan Transisi Energi Internasional yang Adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dapat mendukung transisi energi.
JETP untuk Indonesia disepakati dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada November 2022 yang bekerja untuk merealisasikan kerja sama pendanaan transisi energi.
“Itu (JETP) hanya beberapa proyek dan itu terbatas di sektor pembangkit listrik, sedangkan berbicara (transisi energi) ada industri, transportasi, perumahan, dan gedung komersial,” ucap Gigih.
Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro dalam kesempatan yang sama mengungkapkan, pembiayaan campuran dan nilai ekonomi karbon atau carbon pricing menjadi opsi pembiayaan transisi energi.
Baca juga: Pembangkit Listrik Virtual dan Perannya dalam Transisi Energi
Menurut dia, pembiayaan campuran tidak hanya mengelompokkan sumber dana yang berbeda tapi juga dapat fokus memobilisasi modal sektor swasta.
Sedangkan nilai ekonomi karbon, pendapatan bisa didistribusikan kembali dari sektor swasta kepada sektor publik melalui beberapa instrumen di antaranya pajak karbon hingga kredit karbon.
Dana tersebut kemudian dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan program transisi energi.
Gigih menjelaskan, Indonesia memiliki peta jalan di sektor energi untuk mencapai emisi nol karbon pada 2060 melalui transisi energi fosil ke energi bersih.
Baca juga: Nasib Daerah Penghasil Batu Bara di Era Transisi Energi
Dia menambahkan emisi karbon dapat turun hingga 93 persen pada 2060 menjadi 129,4 juta ton setara karbon dioksida dari perkiraan sekitar 1.927.4 juta ton setara karbon dioksida oleh aktivitas bisnis misalnya industri, perumahan, transportasi, komersial, hingga pembangkit listrik.
Beberapa strategi untuk mencapai target tersebut di antaranya seperti elektrifikasi, pengembangan bahan bakar nabati, pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, sumber baru energi seperti hidrogen dan amonia, serta efisiensi energi.
Selain itu diterapkan juga teknologi penangkapan, utilisasi, dan penyimpanan karbon atau carbon capture, utilization, and storage (CCS/CCUS).
Berdasarkan kajian Badan Energi Internasional (IEA) dalam laporan bertajuk the IEA’s Energy Sector Roadmap to Net Zero Emissions in Indonesia pada September 2022, Indonesia membutuhkan hampir tiga kali lipat investasi energi pada 2030 yakni tambahan investasi sebesar 8 miliar dollar AS per tahun.
Baca juga: Korporat Raksasa Dunia Berkolaborasi Percepat Transisi Energi Bersih
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya