BALIKPAPAN, KOMPAS.com-Upaya pemerintah mengurangi penggunaan batu bara di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) lewat mekanisme co-firing biomassa ternyata menghadapi beberapa tantangan.
Ketersediaan bahan baku dan tingginya harga merupakan dua di antaranya.
Semisal yang terjadi di PLTU Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, yang sudah menguji coba co-firing sejak 2022.
Setelah serangkaian uji coba, biomassa baru bisa mengurangi konsumsi batu bara di pembangkit itu sampai 3 persen.
Baca juga: Penelitian: Co-firing Bukan Solusi Efektif Pangkas Emisi dan Polusi PLTU Batu Bara
Sebagai informasi, dalam sehari, PLTU Teluk Balikpapan bisa menggunakan 3.000 ton batu bara.
"Target pemanfaatan (biomassa) kami tinggi, tapi suplai terbatas sehingga kecil sekali pemanfaatan co-firing," sebut Asisten Manajer Operasi PLTU Teluk Balikpapan Didik Ridho Laksono di kantornya, Rabu (6/9/2023).
Padahal, kata Didik, adanya campuran biomassa dalam batu bara meningkatkan efisiensi pembangkit.
Hingga kini, PLTU tersebut masih menggantungkan sumber bauran energi terbarukan itu dari Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Manggar dan pasokan cacahan kayu limbah dari seantero Balikpapan.
Namun, kedua sumber itu dianggap belum bisa memenuhi kebutuhan.
Dari 7.078,55 ton biomassa yang dibutuhkan dalam setahun, hingga Agustus 2023, hanya 23,06 ton disalurkan.
Baca juga: Mengenal Penggunaan Woodchips dalam Sistem Co-Firing PLTU Bangka
Team Leader Bahan Bakar PLTU Teluk Balikpapan Septian Suryapradana mengungkapkan, selain cacahan kayu limbah sebenarnya ada biomassa lain yang bisa digunakan untuk co-firing yaitu cangkang biji kelapa sawit.
Hanya saja, harga jualnya yang terlalu tinggi sampai melewati harga jual batu bara membuat biomassa itu tidak dipilih untuk bahan bakar.
"Cangkang sawit kalorinya bagus, jauh di atas batu bara, tapi tidak feasible," sebut Septian.
Menurutnya, aturan yang dikeluarkan Direksi Perusahaan Listrik Negara (PLN) selaku induk perusahaan PLTU Teluk Balikpapan melarang pemanfaatan biomassa dengan harga melampaui batu bara.
Sedangkan Kepala UPTD TPA Sampah Manggar Balikpapan Muhammad Haryanto menyebutkan, produksi jumputan padat dan pengelolahan limbah pohon untuk PLTU Teluk Balikpapan paling banyak 10 ton per bulan.
Berdasarkan informasi dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kalimantan Timur, PLTU yang ada di provinsi itu secara rata-rata bisa mengurangi 15 persen konsumsi batu bara dengan co-firing biomassa.
Namun, secara keseluruhan ketersediaan bahan baku masih menjadi kendala.
Staf Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR) Rahmat Jaya Eka Syahputra mengatakan, untuk bisa mengurangi dampak terhadap lingkungan secara signifikan PLTU harus melakukan bauran dengan bahan terbarukan sedikitnya 20 sampai 50 persen.
Baca juga: Implementasi Co-Firing di PLN Hasilkan 575,4 GWh Listrik Bersih
Sejumlah PLTU yang ada di Indonesia dianggap mampu untuk mencapai tingkat bauran sampai 20 persen.
"Dengan teknologi tungku bakar yang digunakan di PLTU ini (Teluk Balikpapan), yaitu Circulating Fluidised Bed (CFB), sebetulnya masih memungkinkan untuk ditingkatkan rasionya, paling tidak hingga 20 persen, berdasarkan pengalaman dari penggunaan tungku bakar yang sama di pembangkit listrik milik Cikarang Listrindo," sebut Analis Senior IESR Raditya Wiranegara.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya