KOMPAS.com – Rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di kawasan industri hijau di Kalimantan Utara dinilai menimbulkan berbagai kerugian.
Menurut lembaga think tank Center of Economic and Law Studies (Celios), pembangunan PLTU batu bara di kawasan industri hijau justru akan berdampak negatif terhadap output perekonomian sebesar Rp 3,93 triliun.
Pendapatan masyarakat secara agregat juga diproyeksi menurun Rp 3,68 triliun dan kerugian spesifik di sektor perikanan senilai Rp 51,5 miliar.
Baca juga: PLN Batalkan Kontrak Jual-Beli Listrik dengan 1,3 GW PLTU Batu Bara
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengatakan, kerugian tersebut disebabkan oleh dampak kerusakan lingkungan, kesulitan nelayan mencari ikan, hingga sektor pertanian yang terimbas pertambangan batu bara untuk suplai PLTU.
Selain itu, ada risiko hilangnya pekerjaan 66.000 orang di berbagai sektor. Jika PLTU batub ara beroperasi dalam jangka panjang, akumulasi kerugian dari kehilangan pendapatan masyarakat akan tembus Rp13 triliun.
“Perusahaan yang berada di balik investasi PLTU batu bara, termasuk calon pembeli aluminium khususnya raksasa otomotif Hyundai, perlu segera mempertimbangkan untuk menghentikan segala bentuk kontrak atau kesepakatan pembelian selama PLTU batu bara tetap dibangun,” kata Bhima daam keterangan tertulis, Kamis (14/9/2023).
“Dikhawatirkan kendaraan listrik yang bahan bakunya berasal dari proses yang masih gunakan batubara, tapi diberi label ‘hijau’, menimbulkan persepsi yang salah di mata konsumen dan investor mitra Hyundai,” sambungnya.
Baca juga: PLTU Batu Bara Ditinggal, Penambahan Pembangkit Listrik Fokus ke EBT
Celios melakukan studi mengenai dampak PLTU batu bara di kawasan industri hijau dan diluncurkan laporan bertajuk “Kawasan Industri Hijau Kalimantan Utara Tercemar PLTU Batubara: Dampak Ekonomi, Konflik Kepentingan, dan Ancaman Lingkungan Hidup”.
Peneliti Celios, Fiorentina Refani, menuturkan pembangunan megaproyek mengarahkan Kalimantan Utara dalam pusaran bencana ekologi.
“Kawasan industri hijau cenderung mendorong adanya deforestasi, pengerukan laut, cemaran limbah panas air bahang, abrasi pantai, penghancuran sumber-sumber air serta kelola pertanian secara lokal, hingga hilangnya berbagai biodiversitas,” ujar Fio.
Fio menyampaikan, jika PLTU batu bara tetap dibangun, kawasan industri hijau berisiko meninggalkan jejak kerusakan ekologis dari hulu ke hilir yakni dari proses ekstraktif, proses produksi, hingga distribusinya.
Baca juga: Upaya Pengurangan Konsumsi Batu Bara PLTU Terkendala Ketersediaan Biomassa
Dia menambahkan, bahan mentah yang menyokong industri di kawasan industri hijau adalah hasil penambangan yang menggerus kelestarian pulau-pulau lain, terutama nikel.
“Pembacaan akumulasi dampak kawasan industri hijau tidak bisa dengan batasan temporal-spasial sebab melewati batas-batas administratif kenegaraan,” ujar Fio.
Peneliti Celios lainnya, Atinna Rizqiana, menyampaikan pemerintah berperan besar dalam mewujudkan komitmen netralitas karbon atau net zero emission (NZE).
“Oleh karena itu, komitmen serius yang dibarengi dengan perwujudan kebijakan dan implementasinya sangat dibutuhkan,” ucap Atinna.
“Jangan sampai kesepakatan internasional yang dilakukan hanya sekadar selubung hijau dari upaya menarik investasi, tanpa memperhatikan prinsip keberlanjutan dan berkeadilan di dalamnya,” sambungnya.
Baca juga: Penelitian: Co-firing Bukan Solusi Efektif Pangkas Emisi dan Polusi PLTU Batu Bara
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya