KOMPAS.com – Masih ada konflik kepentingan di antara para pemangku kepentingan dalam masa transisi energi.
Hal tersebut disampaikan Manajer Program Ekonomi Hijau di Institute for Essential Services Reform (IESR) Wira Agung Swadana dalam sebuah diskusi daring pada Kamis (21/9/2023) dalam rangkaian Climate Week NYC, Amerika Serikat (AS).
Selain itu, Wira menilai, sejauh ini pemerintah belum mengeluarkan panduan transisi energi yang cukup, meliputi indikator dan arahan strateginya.
Baca juga: Indonesia-Jepang Bentuk Satgas Percepat Transisi Energi, Diguyur Rp 207 Triliun Per Tahun
Dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia sebenarnya telah meningkatkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).
Dalam ENDC, Indonesia menargetkan dapat mengurangi emisi GRK dengan kemampuan sendiri sebesar 31,89 persen dari yang sebelumnya 29 persen.
Sedangkan target penurunan emisi GRK dengan dukungan internasional dalam ENDC adalah 43,20 persen dari yang sebelumnya 41.
Meski Indonesia meningkatkan ENDC-nya, Wira menyebutkan ekosistem pendukung atau enabling environment bagi para pengembang energi terbarukan masih belum cukup menarik.
Baca juga: Percepat Transisi Energi di Indonesia, Ini 8 Rekomendasi IESR dan ICEF
“Masih belum ada insentif yang jelas bagi investor serta prosesnya yang masih cukup panjang,” jelas Wira, sebagaimana dilansir dari siaran pers IESR.
Di satu sisi, Indonesia masih membahas Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang diyakinan akan memberikan kerangka kebijakan yang kuat.
Di sisi lain, RUU EBET tersebut mendapat kritikan, salah satunya karena masih berupaya memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil dengan memasukkan teknologi penangkap dan penyimpan karbon.
Dalam kesempatan yang sama, Pakar Strategi Energi dan Iklim dari 7Gen Consulting Yvonne Deng menekankan pentingnya memiliki instrumen pemantauan untuk meninjau kebijakan saat ini.
Baca juga: Bijak Mengelola Pendanaan JETP untuk Transisi Energi Berkeadilan
Untuk mengamati, menilai, dan memantau kemajuan suatu negara dalam implementasi kebijakan, Climate Transparency mengembangkan metodologi untuk meninjau implementasi kebijakan dalam empat kategori.
Keempat kategori tersebut adalah status hukum, institusi dan tata kelola, sumber daya, serta pengawasan.
Climate Transparency adalah sebuah kemitraan global antara organisasi penelitian dan organisasi masyarakat sipil di negara-negara G20.
“Kami (Climate Transparency) menganalisis kesenjangan dan mendalami pendekatan sektoral untuk merekomendasikan kebijakan sektoral apa yang harus diambil suatu negara untuk mencapai ambisi tersebut,” kata Yvonne.
Baca juga: Komitmen Indonesia terhadap Transisi Energi Pengaruhi Peluang Pembiayaan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya