KOMPAS.com – Upaya penanggulanan perubahan iklim harusnya berfokus pada kawasan pedesaan di pesisir, baik di area pulau dan kepulauan.
Pasalnya, desa-desa di pesisir merupakan wilayah yang paling terdampak oleh perubahan iklim.
Hal tersebut disampaikan perwakilan Archipelagic and Island States (AIS) Youth Conference 2023 Engel Laisina dalam Forum Merdeka Barat (FMB9) Road to KTT AIS Forum 2023 di Jakarta, Rabu (4/10/2023).
Baca juga: Ketegangan Geopolitik Dunia Ancam Penanganan Perubahan Iklim
Engel menekankan, pentingnya aksesibilitas yang mudah bagi kawasan pedesaan di pesisir, baik di area pulau dan kepulauan.
“Mengapa itu penting, karena kawasan pedesaan itu yang paling banyak menerima dampak dari perubahan iklim,” terang Engel, sebagaimana dilansir dari rilis Tim Komunikasi dan Media KTT AIS Forum 2023.
“Selama ini, upaya-upaya pencegahan atau penanggulangan perubahan iklim hanya ramai di kota-kota saja, sementara yang paling terdampak adalah desa-desa,” sambungnya.
Engel berharap besar pada hasil KTT AIS Forum 2023 akan digelar pada 10-11 Oktober 2023 di Nusa Dua, Bali, mendatang.
Baca juga: Perubahan Iklim Pengaruhi Pariwisata, Wisatawan Diminta Ikut Peduli
Dia turut meminta semua perwakilan yang hadir dalam KTT tersebut bisa berbagi ilmu dan pengalaman dalam menghadapi serta mengatasi persoalan perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan.
Sementara itu, peneliti dari Universitas Padjajaran, Alexander Muhammad Khan, menuturkan KTT AIS Forum 2023 akan mempertajam strategi negara-negara pulau dan kepulauan strategi dalam menghadapi perubahan iklim.
Saat ini, negara-negara pulau dan kepulauan menjadi yang paling terancam perubahan iklim. Salah satu contoh nyatanya adalah kenaikan permukaan air laut.
Lebih lanjut, misalnya di Indonesia, yang paling terdampak perubahan iklim adalah masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil.
Baca juga: Mayoritas Partai Politik Kurang Serius Sikapi Perubahan Iklim
Indonesia perlu bekerja sama dengan negara-negara yang mempunyai kepentingan dan visi yang sama untuk menjaga kelestarian lingkungan perikanan serta kelautan, supaya itu menjadi aksi global bersama.
“Jadi tidak one man show, tidak satu negara saja, tapi menjadi hal yang bersifat common, bersama dihadapi Indonesia dan negara-negara pulau dan kepulauan di AIS Forum itu,” tutur Alex yang juga merupakan perwakilan Indonesia pada AIS RnD Conference 2023.
Selain itu, KTT AIS Forum 2023 akan menjadi ajang mempertajam strategi dalam menghadapi berbagai isu maritim di kancah internasional.
“Upaya untuk itu akan menjadi lebih terkoordinir, terstruktur, dan tajam. Jadi tidak lagi sporadis,” ujar Alex.
Baca juga: Kurang dari Separuh Warga Asia Tenggara Yakini Perubahan Iklim Ancaman Serius Bagi Negara
Menurut Alex, butuh strategi yang berbeda menghadapi permasalahan di daratan dan lautan karena adanya perbedaan di beberapa hal.
Misalnya perbedaan batas-batas wilayah. Di darat, batas wilayah akan terlihat jelas, sementara laut tidak. Olehnya itu, masalah perikanan dan kelautan tidak bisa diselesaikan sendiri-sendri.
“Karena itu dengan adanya forum komunikasi seperti The Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF) dan sekarang AIS Forum, masalah-masalah tersebut dibingkai sebagai kepentingan bersama yang bisa dibagi dan bisa dikelola bersama-sama,” jelas Alex.
Baginya, Pemerintah Indonesia sudah memiliki kebijakan yang selaras dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat pesisir dan kepulauan.
Baca juga: Presiden Jokowi Ingatkan, Hati-hati Ancaman Perubahan Iklim
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya