KOMPAS.com - Kurang dari separuh penduduk di Asia Tenggara yang meyakini bahwa perubahan iklim merupakan ancaman bagi kesejahteraan negaranya.
Hal tersebut terungkap berdasarkan survei tahunan terbaru yang dilakukan SEAS - Yusof Ishak Institute yakni "Southeast Asia Climate Outlook: 2023 Survey Report".
Menurut survei, 49,4 persen responden Asia Tenggara meyakini perubahan iklim merupakan ancaman langsung bagi kesejahteraan negaranya.
Baca juga: Presiden Jokowi Ingatkan, Hati-hati Ancaman Perubahan Iklim
Angka tersebut menurun bila dibandingkan 2021, yakni 68,8 persen responden Asia Tenggara meyakini perubahan iklim merupakan ancaman langsung bagi kesejahteraan negaranya.
"Namun terdapat jumlah responden yang hampir sama (41,9 persen) yang memandang perlunya memantau perubahan iklim," bunyi laporan tersebut.
Dalam pidatonya pada diskusi panel mengenai laporan tersebut pada Kamis (21/9/2023), Menteri Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, dan Perubahan Iklim Malaysia Nik Nazmi Nik Ahmad mengatakan, temuan tersebut akan menimbulkan banyak tanggapan.
"Alasannya masih bisa diperdebatkan – mungkin ini mencerminkan isu-isu penting yang sedang diangkat di seluruh Asia Tenggara – terutama mengingat pandemi Covid-19 dan pemulihan yang sedang berlangsung," ujarnya, sebagaimana dilansir dari Channel News Asia.
Baca juga: X Platorm Paling Buruk soal Penyebaran Misinformasi Perubahan Iklim
Nik menambahkan survei ini merupakan tanda bahwa pemerintah, media, dan akademisi harus bekerja lebih keras untuk menyuarakan aksi iklim yang semakin mendesak.
Survei tersebut dilakukan selama empat pekan dari Juli hingga Agustus tahun ini.
Jumlah responden yang dilibatkan dalam survei tersebut mencakup 2.225 orang dari 10 negara di Asia Tenggara.
Di sisi lain, laporan ini mencatat bahwa para responden mengkhawatirkan ketahanan pangan.
Baca juga: Usung Isu Perubahan Iklim, Kedubes Italia Gelar Lokakarya I ACT
Tujuh dari 10 responden menyampaikan keprihatinan besar mengenai ketersediaan dan keterjangkauan pangan akibat dampak iklim dalam tiga tahun ke depan.
Lebih dari 40 persen responden di Singapura, Malaysia, Indonesia, dan Filipina juga merasa prihatin atas penurunan tangkapan ikan yang disebabkan oleh pemanasan laut dan cuaca yang tidak dapat diprediksi.
Berdasarkan survei, banjir (79,0 persen), gelombang panas (51,4 persen), dan kekeringan (47,6 persen) diidentifikasi sebagai dampak iklim yang paling banyak memengaruhi sektor pertanian.
Untuk mengatasi masalah ketahanan pangan global, survei ini menemukan responden meminta pemerintah harus memprioritaskan berbagai strategi.
Baca juga: Kereta Api Diklaim Mampu Atasi Risiko Perubahan Iklim
Strategi tersebut seperti metode pertanian adaptif iklim (67,2 persen), peningkatan produksi pangan dalam negeri (56,6 persen), dan investasi pertanian pangan (63,9 persen).
"Atribusi tanggung jawab terbesar terhadap perubahan iklim masih condong ke pemerintah nasional," tulis laporan tersebut.
"Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat ASEAN sangat berharap pemerintah nasional ada di garis depan dalam mengartikulasikan visi dan peraturan iklim yang lebih jelas bagi perekonomian mereka," sambungnya.
Baca juga: Dunia Hampir Kehabisan Waktu Melawan Perubahan Iklim
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya