KOMPAS.com – Hingga 12 Oktober 2023, sebanyak 82 negara telah meneken perjanjian internasional yang mengatur konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan atas keragaman hayati laut di luar yurisdiksi negara atau laut lepas.
Perjanjian tersebut memiliki lengkap Agreement under the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) on the Conservation and Sustainable Use of Marine Biological Diversity of Areas beyond National Jurisdiction.
Guna mempermudah, perjanjian ini kerap disebut sebagai Biodiversity Beyond National Jurisdiction (BBNJ).
Baca juga: 3 Langkah Kecil untuk Selamatkan Laut, Kamu Bisa Memulainya Sekarang
Perjanjian tersebut mulai ditandatangani di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat (AS), pada 20 September 2023.
Penandatanganan dibuka selama dua tahun mulai 20 September 2023 sampai 20 September 2025. Indonesia menjadi salah satu negara awal yang menandatangi perjanjian tingkat tinggi tersebut.
Penandatanganan Indonesia diwakili oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di sela-sela rangkaian pertemuan bilateral dan agenda sampingan pada Sidang Ke-78 Majelis Umum PBB 20 September 2023.
Dilansir dari pemberitaan Kompas.id, BBNJ terdiri dari 17 paragraf mukadimah, 12 bab, 76 pasal, dan dua lampiran.
Baca juga: AIS Youth Conference: Pemuda Negara Kepulauan Komitmen Lindungi Ekosistem Laut
Perjanjian tersebut mengatur konservasi dan pemanfaatan secara berkelanjutan atas keanekaragaman hayati di luar yurisdiksi nasional atau laut lepas.
Retno menyampaikan, perjanjian tersebut sangat penting, terutama bagi Indonesia, karena berbagai alasan.
Beberapa alasan mencakup dampak apa pund dari kelautan, peningkatan kerja sama, berkontribusi pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), dan meneguhkan prinsip-prinsip hukum yang terkandung dalam UNCLOS 1982.
Baca juga: Es Laut Antarktika Alami Rekor Terendah di Musim Dingin
Di sisi lain, Greenpeace Indonesia mengapresiasi langkah Pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian BBNJ tersebut.
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah mengatakan, tanpa dukungan dan desakan dari masyarakat sipil terutama dalam 10 tahun terakhir, posisi dan diplomasi Indonesia tak akan seprogresif hari ini.
“Perjuangan belum usai. Kita lanjutkan mengawal hingga perjanjian ini diratifikasi dan terwujud dalam langkah konkret,” kata Afdillah dalam siaran pers Greenpeace Indonesia.
Sementara itu, Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak menuturkan, langkah yang diambil pemerintah Indonesia adalah pencapaian yang signifikan.
Baca juga: Jaga Ekosistem Laut, PIS Ajak Pelajar Tanam 1.500 Bakau di Pulau Terdepan
“Khususnya dalam situasi di mana multilateralisme mengalami tekanan serius karena perkembangan dan ketegangan global politik akhir-akhir ini,” kata Leonard.
Leonard menambahkan, penandatanganan perjanjian tersebut hanyalah momen simbolis. Butuh aksi nyata untuk melindungi lautan.
“Waktu kita makin sempit untuk mewujudkan pelindungan 30 persen lautan hingga 2030. Pemerintah juga perlu juga mengeratkan kerja sama lintas negara agar laut segera bebas dari segala aktivitas destruktif,” tutur Leonard.
Untuk membuat perjanjian mulai berlaku dan menjadi lebih efektif, 60 negara harus meratifikasi perjanjian tersebut.
Greenpeace mendesak pemerintah negara-negara untuk meratifikasi perjanjian tersebut pada Konferensi Kelautan PBB di Nice, Perancis, pada 2025 mendatang.
Baca juga: KTT AIS Forum Jadi Momentum Perbaiki Ekosistem Pesisir dan Laut
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya