KOMPAS.com – Biaya untuk penerapan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS) lebih mahal dibandingkan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Hal tersebut disampaikan Staff Program untuk proyek Clean, Affordable, and Secure Energy (CASE) untuk Asia Tenggara (SEA) Institute for Essential Services Reform (IESR) Fadhil Ahmad Qamar pada hari kedua Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2023, Rabu (11/10/2023).
Fadhil menyampaikan, biaya penambahan teknologi CCS untuk memperpanjang usia PLTU batu bara cenderung tinggi disebabkan oleh besarnya biaya pengadaan atau modal awal.
Baca juga: 23,7 Persen Pembangkit Listrik Batu Bara Indonesia adalah PLTU Captive
Selain itu, CCS membuat biaya operasional PLTU batu bara juga meningkat, sebagaimana rilis yang diterima dari IESR.
Di sisi lain, pensiun dini PLTU batu bara dapat menurunkan emisi yang mirip dengan penerapan CCS, namun dengan biaya yang lebih rendah.
Dia menuturkan, agar nilai ekonomi antara pensiun dini PLTU batu bara dengan penerapan CCS dapat diketahui, perlu disertai penerapan harga karbon yang tepat.
“Untuk dapat menerjemahkan manfaat pengurangan emisi dari pengakhiran dini operasional PLTU batu bara dan penerapan teknologi CCS pada PLTU batu bara dalam nilai ekonomi, maka perlu disertai dengan penerapan harga karbon yang tepat sebagai bagian dari pembiayaan inovatif. Sehingga tidak membebankan anggaran negara,” ungkap Fadhil.
Baca juga: PLTU Batu Bara Terakhir di Indonesia Pensiun 2058
Sementara itu, Analis Senior IESR Raditya Wiranegara menekankan pentingnya aspek sosial dan ekonomi dari pensiun dini PLTU batu bara.
Hal tersebut terutama jika kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat lokal memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap beroperasinya PLTU batu bara.
Selain itu, pemangku kebijakan juga perlu untuk menggunakan pendekatan perumusan kebijakan terkait rencana penghentian PLTU batu bara yang berbasis data.
Data tersebut berasal dari berbagai aspek, baik dataset pembangkit maupun biaya-biaya eksternalitas terkait dengan operasinya, seperti biaya sosial akibat polusi lokal yang dihasilkan oleh PLTU batu bara.
Baca juga: Aktivis Desak OJK Keluarkan PLTU Batu Bara dari Revisi Taksonomi Hijau
Dia menekankan agar rencana penghentian operasi PLTU batu bara masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).
“Sehingga dapat dipersiapkan jaringan pengaman sosial seperti apa dan berapa banyak yang diperlukan untuk meminimalisasi dampak pengakhiran operasi PLTU batu bara,” ujar Raditya
Dampak tersebut seperti efeknya kepada pada masyarakat di sekitar pembangkit maupun di daerah penghasil batu bara.
“Langkah-langkah antisipasi lainnya, seperti penyiapan peralihan tenaga kerja dari PLTU batu bara ke pembangkit listrik berbasis energi terbarukan juga bisa dipertimbangkan untuk masuk ke dalam RPJPN” jelas Raditya.
Baca juga: PLTU di Kawasan Industri Hijau Berpotensi Bikin Rugi Rp 3,93 Triliun
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya