Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Budi Heru Santosa
Pegawai Negeri Sipil

Pemerhati masalah lingkungan dan sumber daya air

Teknik "Bioswale" dan "Rain Garden" untuk Pengurangan Risiko Banjir

Kompas.com - 19/10/2023, 09:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETIAP 13 Oktober, kita memperingati Hari Pengurangan Risiko Bencana Internasional sebagai pengingat bahwa kita harus selalu berusaha mengurangi risiko bencana. Faktanya, hingga saat ini banjir masih tetap mendominasi kejadian bencana di Indonesia.

BNPB mencatat, dari 3.544 kejadian bencana di Indonesia pada 2022, sebanyak 43 persennya adalah bencana banjir.

Banyak studi membuktikan bahwa peningkatan kejadian banjir adalah dampak tidak langsung dari konversi lahan dalam daerah aliran Sungai (Santosa dkk., 2022).

Kebutuhan lahan permukiman dan sarana sosial ekonomi lainnya telah mengakibatkan terjadinya konversi lahan menjadi lahan terbangun.

Secara hidrologis, konversi lahan akan meningkatkan debit limpasan permukaan ketika terjadi hujan. Bila debit ini melampaui kapasitas alir saluran atau sungai, maka terjadilah banjir.

Untuk mengantisipasi terjadinya hal tersebut, perlu dilakukan upaya konservasi sumber daya air, yang bertujuan mengembalikan siklus hidrologi seperti kondisi aslinya sebagaimana sebelum adanya campur tangan manusia.

Salah satu metode konservasi air yang saat ini sudah banyak diterapkan di berbagai negara adalah low impact development (LID).

Dengan penerapan LID, dampak dari peningkatan aliran permukaan baik secara kuantitatif maupun kualitatif dapat dimitigasi (Palla & Gnecco, 2015).

Salah satu metode yang termasuk dalam kategori LID adalah kombinasi ruang terbuka biru hijau (blue-green infrastructure/BGI), yang mengintegrasikan ruang terbuka hijau, seperti: taman, hutan kota, jalur hijau, dan komponen bervegetasi lainnya di wilayah perkotaan dengan ruang terbuka biru, seperti kolam, situ, dan bangunan air lainnya yang bertujuan mengelola debit banjir.

Setidaknya ada dua peraturan yang secara langsung menunjukkan komitmen Pemerintah Republik Indonesia untuk mengelola air hujan di wilayah permukiman.

Pertama, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 11/PRT/M/2014 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Air Hujan pada Bangunan Gedung dan Persilnya. Kedua, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2022 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Dengan Permen PUPR tersebut, Pemerintah berupaya mempertahankan kondisi hidrologi alami, dengan cara memaksimalkan pemanfaatan air hujan, infiltrasi air hujan, dan menyimpan sementara air hujan untuk menurunkan debit banjir melalui optimasi pemanfaatan elemen alam dan pemanfaatan elemen buatan.

Dengan Permen ATR/BPN tersebut diupayakan integrasi “fungsi biru” pada RTH yang ada, melalui fungsi resapan air dan penanggulangan bencana, sebagai implementasi dari prinsip BGI.

Berdasarkan kedua peraturan tersebut, semua stakeholder mempunyai landasan untuk mengelola dan memanfaatkan RTH di wilayah yang menjadi kewenangannya sebagai BGI.

Dua contoh ruang terbuka hijau dengan fungsi biru yang ada di dalam Permen ATR/BPN adalah bioswale dan rain garden.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau