SETIAP 13 Oktober, kita memperingati Hari Pengurangan Risiko Bencana Internasional sebagai pengingat bahwa kita harus selalu berusaha mengurangi risiko bencana. Faktanya, hingga saat ini banjir masih tetap mendominasi kejadian bencana di Indonesia.
BNPB mencatat, dari 3.544 kejadian bencana di Indonesia pada 2022, sebanyak 43 persennya adalah bencana banjir.
Banyak studi membuktikan bahwa peningkatan kejadian banjir adalah dampak tidak langsung dari konversi lahan dalam daerah aliran Sungai (Santosa dkk., 2022).
Kebutuhan lahan permukiman dan sarana sosial ekonomi lainnya telah mengakibatkan terjadinya konversi lahan menjadi lahan terbangun.
Secara hidrologis, konversi lahan akan meningkatkan debit limpasan permukaan ketika terjadi hujan. Bila debit ini melampaui kapasitas alir saluran atau sungai, maka terjadilah banjir.
Untuk mengantisipasi terjadinya hal tersebut, perlu dilakukan upaya konservasi sumber daya air, yang bertujuan mengembalikan siklus hidrologi seperti kondisi aslinya sebagaimana sebelum adanya campur tangan manusia.
Salah satu metode konservasi air yang saat ini sudah banyak diterapkan di berbagai negara adalah low impact development (LID).
Dengan penerapan LID, dampak dari peningkatan aliran permukaan baik secara kuantitatif maupun kualitatif dapat dimitigasi (Palla & Gnecco, 2015).
Salah satu metode yang termasuk dalam kategori LID adalah kombinasi ruang terbuka biru hijau (blue-green infrastructure/BGI), yang mengintegrasikan ruang terbuka hijau, seperti: taman, hutan kota, jalur hijau, dan komponen bervegetasi lainnya di wilayah perkotaan dengan ruang terbuka biru, seperti kolam, situ, dan bangunan air lainnya yang bertujuan mengelola debit banjir.
Setidaknya ada dua peraturan yang secara langsung menunjukkan komitmen Pemerintah Republik Indonesia untuk mengelola air hujan di wilayah permukiman.
Pertama, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 11/PRT/M/2014 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Air Hujan pada Bangunan Gedung dan Persilnya. Kedua, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2022 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Dengan Permen PUPR tersebut, Pemerintah berupaya mempertahankan kondisi hidrologi alami, dengan cara memaksimalkan pemanfaatan air hujan, infiltrasi air hujan, dan menyimpan sementara air hujan untuk menurunkan debit banjir melalui optimasi pemanfaatan elemen alam dan pemanfaatan elemen buatan.
Dengan Permen ATR/BPN tersebut diupayakan integrasi “fungsi biru” pada RTH yang ada, melalui fungsi resapan air dan penanggulangan bencana, sebagai implementasi dari prinsip BGI.
Berdasarkan kedua peraturan tersebut, semua stakeholder mempunyai landasan untuk mengelola dan memanfaatkan RTH di wilayah yang menjadi kewenangannya sebagai BGI.
Dua contoh ruang terbuka hijau dengan fungsi biru yang ada di dalam Permen ATR/BPN adalah bioswale dan rain garden.
Bioswale adalah saluran bervegetasi berbentuk memanjang untuk mengendalikan limpasan air hujan dan menyaring polutan. Sedangkan rain garden adalah taman dengan suatu area berbentuk cekungan bervegetasi yang didesain untuk mengumpulkan limpasan permukaan dan menyaring polutan dari area di sekitarnya.
Baik bioswale dan rain garden memiliki fungsi hidrologi, kimia, dan biologis, serta dapat berfungsi sebagai sarana untuk menampung dan meresapkan limpasan permukaan dari area di sekitarnya dan bila didesain dengan baik akan dapat memperindah lokasi.
Pada kondisi tidak hujan, keduanya adalah cekungan kering, dapat digunakan untuk berbagai keperluan publik.
Karena bentuknya memanjang, bioswale dapat diaplikasikan pada area parkir, jalur hijau sempadan jalan, rel KA, atau jaringan transmisi.
Sedangkan rain garden dapat diaplikasikan di lokasi-lokasi sempit di wilayah permukiman perkotaan.
Karena kemampuannya meresapkan air yang dipengaruhi oleh jenis tanah dan struktur geologi, kedua jenis infrastruktur ini dapat mengelola debit limpasan pada kejadian hujan dengan intensitas kecil hingga sedang.
Pada kondisi tanah dengan daya infiltrasi rendah, dapat dilengkapi dengan sistem drainase bawah tanah yang dihubungkan dengan perairan setempat.
Dengan penataan vegetasi yang disesuaikan dengan kondisi setempat, bioswale dan rain garden dapat menangkap sedimen dan menyaring polutan pada lapisan tanah.
Jika kita melihat penerapan bioswale dan rain garden, metode ini sudah banyak digunakan di Amerika Utara dan Eropa.
Di beberapa negara, ada semangat yang tinggi untuk kembali ke solusi berbasis alam dengan mengubah infrastruktur yang sudah ada menjadi BGI yang multifungsi.
Singapura juga sudah sejak 2014 menerapkan pengurangan debit banjir dengan mengelola air hujan di tempat jatuhnya, termasuk menggunakan metode BGI.
Karena kesamaan geografi, iklim dan curah hujan antara Singapura dan Indonesia menjadi alasan kuat bahwa Indonesia bisa mengimplementasikan metode BGI secara luas di wilayah perkotaannya.
Di Indonesia, penerapan BGI di perkotaan juga sudah diterapkan di beberapa RTH. Rain garden dalam bentuk cekungan yang ada di dalam RTH dan dilengkapi dengan vegetasi dapat kita lihat sebagai penampung limpasan permukaan.
Ini menunjukkan upaya pengelolaan air hujan di tempat jatuhnya sudah mulai dilakukan.
Namun bila dihitung jumlah implementasi BGI di seluruh wilayah perkotaan di Indonesia, angkanya masih perlu ditingkatkan untuk mencapai tingkat efektivitas BGI dalam mengurangi risiko banjir.
Untuk itu, perlu dilakukan upaya edukasi kepada pengelola RTH, baik pemerintah maupun privat, sehingga upaya pengurangan risiko banjir berbasis BGI dapat dimaksimalkan.
Selain itu, pemerintah juga perlu membuat panduan teknis pembuatan bioswale dan rain garden sehingga para pihak dapat mengimplementasikan metode tersebut secara mudah.
Selain memberikan banyak manfaat, bioswale dan rain garden juga memiliki beberapa keterbatasan, yaitu: filter tanah yang tersumbat karena terlalu banyak sedimen dan hanya dapat mengelola limpasan permukaan dengan debit kecil hingga sedang.
Untuk itu, perlu dihitung debit limpasan permukaan yang berasal dari area sekitarnya dan hasilnya digunakan sebagai dasar untuk menentukan ukuran infrastruktur yang akan dibangun.
Selanjutnya, infrastruktur ini harus dirawat secara teratur agar tetap berfungsi secara optimal, baik dalam mengurangi risiko banjir maupun dalam meningkatkan keindahan lingkungan.
Terakhir, kota-kota di Indonesia sudah seharusnya mengintegrasikan fungsi biru secara luas pada RTH yang ada, baik milik pemerintah maupun masyarakat.
Dengan begitu, debit limpasan permukaan bisa dikurangi dan upaya pengurangan risiko banjir bisa lebih efektif.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya