KOMPAS.com – Permintaan bahan bakar fosil dunia akan mencapai puncaknya pada 2030. Setelah itu, konsumsi minyak dan gas (migas) serta batu bara akan menurun.
Prediksi tersebut disampaikan International Energy Agency (IEA) dalam laporan tahunan terbarunya berjudul World Energy Outlook 2023 yang dirilis pada Selasa (24/10/2023).
Proyeksi dari IEA tersebut didasarkan pada berbagai kebijakan pemerintah di dunia saat ini, sebagaimana dilansir Reuters.
Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol mengatakan, transisi energi ramah lingkungan sedang terjadi di seluruh dunia.
Baca juga: Puluhan Perusahaan Migas Komitmen Pangkas Emisi dalam COP28, Ekspansi Penangkap Karbon?
“Ini bukan soal 'jika', ini hanya soal 'seberapa cepat' – dan semakin cepat semakin baik bagi kita semua,” ungkap Birol dalam laporan tersebut.
“Pemerintah, perusahaan, dan investor perlu mendukung transisi energi ramah lingkungan, bukan menghalanginya,” sambungnya.
Akan tetapi, meski permintaan bahan bakar fosil menurun setelah 2030, tingkat konsumsinya masih dinilai belum cukup memenuhi Perjanjian Paris yang menargetkan mencegah suhu Bumi naik 1,5 derajat celsius.
IEA menuturkan, masih tingginya konsumsi migas dan batu bara tidak hanya berisiko memperburuk dampak iklim.
“Namun juga merusak keamanan sistem energi, yang dibangun untuk dunia yang lebih dingin dengan kejadian cuaca yang tidak terlalu ekstrem,” tulis IEA.
Baca juga: Forum Leadership Hulu Migas 2023, SKK Migas Tegaskan Komitmen Pertumbuhan Berkelanjutan
Pada 2030, IEA memperkirakan jumlah mobil listrik yang mengaspal di seluruh dunia akan melonjak sebanyak 10 kali lipat.
IEA menyebutkan, berbagai kebijakan yang mendukung energi ramah lingkungan di pasar-pasar utama akan menurunkan permintaan bahan bakar fosil di masa depan.
Misalnya, IEA memperkirakan 50 persen penjualan mobil baru di AS berupa kendaraan listrik pada 2030. Perkiraan ini naik dibandingkan proyeksi dua tahun lalu sebesar 12 persen.
Baca juga: BPH Migas Jamin Akses BBM hingga Daerah Terdepan, Tertinggal, dan Terluar
IEA juga melihat peran China sebagai kontributor penting dalam pertumbuhan permintaan energi ramah lingkungan.
Meskipun China dalam 10 tahun terakhir menyumbang hampir dua pertiga dari peningkatan konsumsi minyak global, China sedang gencar dan masif mengembangkan energi terbarukan.
IEA mengatakan, kunci transisi energi yang teratur adalah meningkatkan investasi di semua aspek sistem energi bersih, bukan pada bahan bakar fosil.
“Berakhirnya era pertumbuhan bahan bakar fosil tidak berarti berakhirnya investasi bahan bakar fosil, namun melemahkannya,” tulis IEA.
Baca juga: Pemerintah Masih Godok Peta Jalan Pensiun Dini PLTU Batu Bara
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya