Di sisi lain, Analis Senior IESR Raditya Wiranegara menyebutkan, proses pengadaan pembangkit energi terbarukan masih terkendala di beberapa hal.
“Acapkali hal ini terbentur dengan persiapan proyek, termasuk di dalamnya studi konektivitas jaringan, akuisisi lahan, dan penyelesaian izin-izin terkait sebelum proses lelang,” terang Raditya.
Di Indonesia, kata Raditya, berbagai hal tersebut masih menjadi tanggungan di pengembang, sehingga membuat prospek investasi terbarukan hanya bisa terjamah oleh pihak tertentu saja.
Baca juga: Bijak Mengelola Pendanaan JETP untuk Transisi Energi Berkeadilan
“Reformasi kebijakan yang menitikberatkan pada efisiensi dan kemudahan di dalam proses pengadaan pembangkit energi terbarukan mutlak diperlukan jika nantinya target ekspansi kapasitas ingin tercapai,” jelas Raditya.
Upaya penurunan emisi yang tercantum dalam draf dokumen CIPP juga perlu menekankan aspek keadilan dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat.
Berdasarkan berbagai kajian IESR tentang mitigasi dampak transisi energi di daerah penghasil batu bara, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas institusi pemerintah pusat dan daerah dalam proses transisi energi.
Selain itu, perlu dilakukan diversifikasi ke ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Baca juga: Dokumen CIPP JETP Diundur, Begini Tanggapan IESR
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya