VISI kebencanaan belum nampak pada ketiga pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Tiga pasangan yang akan bersaing di Pilpres 2024, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dengan visi “ Indonesia Adil Makmur untuk Semua”, pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD dengan visi "Menuju Indonesia Unggul: Gerak Cepat Mewujudkan Negara Maritim yang Adil dan Lestari", dan Pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Bersama Indonesia dengan visi Maju Menuju Indonesia Emas 2045.
Sejatinya ketiga pasangan capres-cawapres dapat saling mendukung dengan mengangkat tema meningkatkan kesadaran publik terhadap kebencanaan. Mereka dapat menyoroti kebencanaan sebagai bagian dari visi misi.
Kebencanaan hendaknya dijadikan platform kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat yang selama ini sangat abai dalam menghadapi bencana.
Indonesia, menurut Bank Dunia, adalah negara peringkat ke-12 dari 35 negara di dunia yang memiliki risiko tinggi terhadap korban jiwa dan kerugian ekonomi akibat dampak berbagai jenis bencana.
Hampir seluruh wilayah di Indonesia terpapar risiko atas lebih dari 10 jenis bencana alam, yakni gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, letusan gunung api, kebakaran, cuaca ekstrem, gelombang ekstrem, kekeringan, dan likuifaksi.
Sejumlah bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Sumatera bagian utara pada 2004, rentetan tiga bencana besar pada 2018 (gempa Lombok, gempa dan tsunami Palu dan Donggala, serta tsunami Selat Sunda), hingga bencana banjir yang rutin menghampiri ibu kota negara memberikan gambaran dan fakta yang jelas betapa rentannya negeri ini terhadap bencana alam.
Tahun 2020, Indonesia ternyata juga tidak memiliki imunitas terhadap bencana wabah. Seperti negara lain, Indonesia harus berhadapan dengan penyebaran virus Covid-19 yang menekan dalam pertumbuhan ekonomi.
Kerugian akibat bencana, baik bencana yang rutin terjadi dengan dampak kecil atau jarang terjadi tetapi melumpuhkan ekonomi daerah terdampak, sangat memengaruhi ketahanan APBN.
Gempa dan tsunami Aceh 2004, misalnya, menyebabkan kerusakan dan kerugian ekonomi hingga mencapai Rp 51,4 triliun. Sedangkan kemampuan APBN untuk mengalokasikan dana bagi penanggulangan risiko bencana hanya sebesar Rp 3 triliun-Rp 10 triliun setiap tahunnya.
Selain bencana alam tersebut, pada 2020, pandemi Covid-19 juga telah mengakibatkan banyak kerugian, baik dari sisi perekonomian, kesehatan, maupun sosial bagi Indonesia. Covid-19 juga dikategorikan sebagai bencana nasional.
Data hingga 18 Juli 2023, total kematian karena Covid-19 di Indonesia sebanyak 161.880 orang.
Dengan memperhatikan besarnya dampak bencana-bencana tersebut, maka pasangan capres-cawapres perlu memberikan solusi untuk memastikan bahwa pembiayaan bencana dapat disediakan dengan memadai untuk melindungi keuangan negara, aset pemerintah dan masyarakat, namun tanpa memberatkan anggaran negara.
Indonesia terletak di dalam wilayah yang disebut Ring of Fire (Cincin Api). Kawasan Samudera Pacific tempat di mana 90 persen gunung berapi teraktif di dunia berada dan 90 persen gempa bumi di dunia berasal.
Indonesia bahkan disebut sebagai “supermarket bencana“ karena beragamnya berbagai jenis bencana alam yang potensial terjadi.
Indonesia terletak di antara tiga lempeng tektonik, yaitu Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik yang berada di jalur cincin api “Asia Pacific Ring of Fire” dengan 127 gunung berapi aktif terbanyak di dunia, dan tiga negara kepulauan terbesar di dunia dengan 13.466 pulau.
Indonesia menjadi negara paling rawan bencana kedua di dunia pada 2022. Menurut laporan World Risk Report 2023, Indonesia memiliki skor Indeks Risiko Global (WRI) sebesar 43,5 poin pada 2022.
Skor tersebut menempatkan Indonesia di posisi kedua tertinggi secara global. Sekitar 100 juta penduduk Indonesia berisiko terkena bencana alam.
Sebagian besar masyarakat tak mengetahui ancaman bencana dan tidak bersiap menghadapinya. Hingga gempa bumi diikuti tsunami melanda kembali upaya mitigasi dan kesiapasiagaan sangat minim dilakukan.
Korban akibat tsunami di Indonesia sangat besar jika dibandingkan, misalnya, dengan Jepang. Jumlah korban jiwa yang tinggi mencerminkan kurangnya sistem deteksi dan peringatan tsunami di Indonesia. Bahkan sejumlah peralatan deteksi tsunami dilaporkan rusak dan hilang.
Sebagian masyarakat kita masih meyakini bencana alam sesuatu yang tidak bisa dihindari dan tidak ada yang bisa dilakukan. Sebagian lagi menolak direlokasi dari daerah rawan gunung berapi karena dinilai mengandung tanah subur dan kekayaan mineral.
Beberapa negara memberikan subsidi premi bagi asuransi bencana alam pada daerah rawan bencana.
Di beberapa negara pemerintah bermitra dengan industri asuransi untuk memberikan proteksi pada daerah yang sangat sulit diduga atau menjadi mahal bagi industri asuransi bila menanggungnya sendiri.
Skema asuransi gempa bumi di Turki (TCIP) bersifat wajib dengan larangan mendapatkan pinjaman bank setelah bencana bila tidak memiliki asuransi gempa. Pemerintah membayar selisih ganti rugi di atas kemampuan TCIP.
Japan Earthquake Reinsurance (JER) membayar penuh klaim gempa bumi hingga 104 juta Yen, kerugian hingga 691 juta yen pemerintah mengganti 50 persen, kerugian melebihi 6,2 triliun yen pemerintah mengganti 98,4 persen dan sisanya ditanggung asuransi swasta dan JER.
New Zealand Earthquake Commission (EQC) menjamin pemilik rumah secara otomatis dengan risiko gempa bumi bila memiliki polis asuransi kebakaran. Pemerintah menanggung kelebihan kemampuan EQC membayar.
Beberapa risiko yang tidak dapat ditanggung sendiri oleh industri asuransi dapat dilakukan bersama pemerintah dengan pola Public Private Partnership (PPP) untuk mengurangi dampak kerugian ekonomi akibat bencana.
Telah banyak wacana dan inisiatif dilakukan untuk membuat agar asuransi bencana dapat dilakukan dengan peran serta pemerintah, namun belum terwujud hingga sekarang meski risiko bencana alam sangat tinggi di Indonesia.
Indonesia kerap dilanda bencana atau tragedi yang menelan banyak korban serta kerugian harta benda. Termasuk potensi kerugian akibat gagal panen. Maka, pengembangan program asuransi wajib mendesak segera dilakukan.
Pemerintah perlu segera mewujudkan program asuransi wajib yang menjadi amanat UU 40/2014 tentang perasuransian di antaranya asuransi wajib gempa tsunami dan letusan gunung api.
PMK No 247/PMK.06/2016 tentang Pengasuransian Barang Milik Negara dalam rangka melaksanakan ketentuan PP 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah telah mengatur kriteria Barang Milik Negara yang dapat diasuransikan (ABMN), yakni berada di daerah rawan bencana dan mempunyai dampak yang besar terhadap prasarana umum apabila rusak atau hilang.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan menetapkan asuransi wajib. Hal ini tertuang dalam Road Map Perasuransian Indonesia 2023-2027.
Nantinya, asuransi wajib ini akan meliputi asuransi kendaraan umum hingga asuransi saat ada acara yang melibatkan orang banyak, seperti pertandingan sepak bola.
Hal itu berkaca dari tragedi Stadion Kanjuruhan Malang, Jawa Timur. Berdasarkan hasil pemeriksaan, tidak ada pihak yang terlindungi dalam tragedi yang menelan korban hingga lebih dari 700 orang tersebut.
Selain itu, OJK juga akan mewajibkan asuransi kendaraan umum. Saat ini Jasa Raharja hanya menyediakan perlindungan untuk pengendara dan penumpang, belum meliputi kendaraan dan pihak ketiganya.
Aturan mengenai dana jaminan kecelakaan seperti yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas Jalan ditujukan bagi pihak ketiga yang bukan penumpang.
Berlakunya UU No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) pada 12 Januari 2023, mengubah beberapa ketentuan dalam UU No. 40/2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian).
Terbitnya UU yang memuat 27 bab dan 341 pasal ini dimaksudkan Pemerintah sebagai inisiatif dalam mereformasi sektor keuangan, salah satunya mengenai ketentuan Asuransi Wajib.
Tahun politik menjadi momentum untuk membangkitkan kampanye nasional kebencanaan di seluruh lapisan masyarakat dan pengambil kebijakan.
Dibutuhkan revolusi mental untuk membangun kesadaran kebencanaan di samping regulasi dan implementasi tentang mitigasi bencana.
Kita tidak mau absennya visi kebencanaan capres menjadi beban bagi perjalanan bangsa menuju Indonesia Emas 2045 atau Adil Makmur sebagaimana visi para capres.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya