Tantangan peraturan dan kelembagaan juga membatasi pengakuan hukum, status dan otonomi koperasi.
Misal, persyaratan dan standar yang berlebihan atau tidak tepat pada koperasi, seperti kecukupan modal, kewajiban pelaporan, dan prosedur perizinan (Wijers: 2019).
Selain itu, tantangan ini mendiskriminasi koperasi dalam hal perpajakan, subsidi, pengadaan publik, dan akses terhadap layanan publik dan infrastruktur.
Untuk mengatasi tantangan itu, koperasi perlu meningkatkan visibilitas dengan memperkuat advokasi dan komunikasi. Koperasi perlu menggunakan berbagai platform dan saluran media untuk menunjukkan kinerja dan praktik terbaik mereka.
Koperasi juga perlu mendorong para stakeholder untuk merekognisi dan menghormati identitas, prinsip, dan nilai koperasi. Serta kekhasan dan keragaman koperasi agar bisa menyelaraskannya dengan kerangka hukum dan regulasi terkait.
Selanjutnya, koperasi perlu membangun dan memelihara kemitraan dengan para pemangku kepentingan, seperti pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, dan akademisi.
Pendekatan kolaboratif ini berperan penting dalam memengaruhi agenda setting dan kebijakan. Serta mendorong inisiatif dan proyek bersama yang berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan.
Terakhir, koperasi harus meningkatkan kapasitas dan kinerjanya dengan berinvestasi pada inovasi, teknologi, dan tata kelola yang baik. Investasi ini penting untuk meningkatkan daya saing, efisiensi, dan komitmen terhadap tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Melalui langkah-langkah itu, kita patut optimistis pada laporan mendatang terdapat rekam jejak koperasi Indonesia dalam agenda ekologi berkelanjutan. Semoga.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya