DALAM diskursus Pilpres hari ini, isu disabilitas kurang menjadi pembahasan intensif. Isu disabilitas masih menjadi narasi yang kurang sentral dan tertinggal dari isu-isu lain, seperti kemiskinan, ekonomi makro, ekologi, hukum, dan demokrasi.
Isu disabilitas merupakan narasi global yang inheren dengan dimensi inklusivitas dan masih berkaitan dengan konteks perempuan, anak-anak, dan lansia sebagai kelompok rentan.
Isu disabilitas menjadi variabel yang seharusnya diperdebatkan dalam ruang publik dan menjadi fokus dalam narasi politik gagasan oleh Capres dan Cawapres.
Saat ini, penyandang disabilitas masih menjadi kelompok sosial yang acap kali mendapatkan perlakuan “kurang adil” dari pemerintah.
Perlakuan kurang adil mencakup beberapa aspek sektoral, seperti pendidikan, jaminan sosial, aksesibilitas layanan dan fasilitas publik, hingga ketimpangan pekerjaan.
Meski demikian, isu disabilitas secara naratif sudah termanifestasikan di dalam grand design atau visi-misi dari setiap Capres dan Cawapres.
Oleh sebab itu, narasi ini dituliskan secara objektif untuk menelaah secara komprehensif mengenai isu disabilitas di dalam gagasan setiap Capres dan Cawapres.
Dokumen visi-misi, gagasan, dan hal-hal programatik dari pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar dinarasikan dengan total 143 halaman.
Isu mengenai disabilitas dibahas oleh Anies-Muhaimin dengan mengelaborasikan aspek sosiologis, kebijakan publik, hingga pendidikan.
Pertama, dalam dokumen visi-misinya, Anies-Muhaimin memiliki komitmen untuk memberikan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan dari kelompok disabilitas.
Diksi “penghormatan” digunakan Anies-Muhaimin untuk menggambarkan kondisi penyandang disabilitas “kurang terhormat” bagi kebanyakan orang.
Kedua, Anies-Muhaimin mencoba mendistribusikan ruang pendidikan yang simetris bagi penyandang disabilitas melalui optimalisasi kualitas maupun kuantitas Sekolah Inklusif dan Sekolah Luar Biasa (SLB).
Selain itu, Anies-Muhaimin juga mendorong agar ada fasilitas beasiswa yang dikhususkan untuk penyandang disabilitas di berbagai tingkat pendidikan.
Ketiga, Anies-Muhaimin juga fokus pada pembangunan infrastruktur dan layanan publik bagi penyandang disabilitas. Di antaranya transportasi umum, taman hijau, trotoar, dan fasilitas publik lainnya.
Anies-Muhaimin berupaya untuk memasifkan Juru Bahasa Isyarat (JBI) di berbagai kegiatan publik.
Keempat, Anies-Muhaimin melihat bahwa kelompok disabilitas merupakan bagian integral dari narasi 28 Simpul Kesejahteraan. Oleh sebab itu, Anies-Muhaimin berupaya memberikan bantuan sosial, ruang pekerjaan inklusif, dan mengadakan pelatihan serta permodalan untuk berwirausaha.
Dokumen visi-misi pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka berisi 88 halaman. Pasangan ini juga cukup banyak melampirkan isu disabilitas sebagai titik konsentrasi dalam visi-misi maupun gagasan programatiknya.
Pertama, Prabowo-Gibran ingin mengakselerasi Petunjuk Pelaksana (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis) dalam UU No.8 Tahun 2016 mengenai Penyandang Disabilitas.
Secara tersirat, hal ini mencerminkan keseriusan Prabowo-Gibran dalam konteks kebijakan publik mengenai penyandang disabilitas sebagai basis aturan dan regulasi.
Kedua, Prabowo-Gibran juga berupaya secara sistemik dalam melindungi hak dari penyandang disabilitas. Hal ini juga berpretensi pada hak penyandang disabilitas dalam dimensi pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi politik.
Yang perlu disorot, Prabowo-Gibran memasukkan aspek partisipasi politik sebagai hal yang bersifat fundamental bagi penyandang disabilitas di negara demokrasi.
Ketiga, Prabowo-Gibran memiliki fokus melakukan sosialisasi yang integratif untuk mengubah paradigma masyarakat mengenai penyandang disabilitas sebagai kelompok minoritas yang teralienasi.
Secara sosiologis, hal ini juga merefleksikan keseriusan Prabowo-Gibran dalam aspek Pembangunan Manusia.
Keempat, Prabowo-Gibran berniat membangun infrastruktur publik yang ramah terhadap penyandang disabilitas.
Selain itu, Prabowo-Gibran juga berupaya mengamplifikasi akses pendidikan, pekerjaan, transportasi, dan kesehatan bagi penyandang disabilitas. Bahkan, mendorong agar korporasi swasta maupun BUMN membuka ruang pekerjaan bagi penyandang disabilitas.
Visi-misi dari Ganjar Pranowo dan Mahfud MD termanifestasikan dalam dokumen penuh grafis berisi 33 halaman.
Dalam hal ini, dokumen visi-misi dari Ganjar-Mahfud cenderung lebih sedikit dua pasangan lain. Isu disabilitas dicatat di dalam beberapa narasi programatik dari Ganjar-Mahfud.
Pertama, Ganjar-Mahfud memiliki program Dana Abadi untuk Kesejahteraan Sosial yang juga ditujukan secara khusus kepada penyandang disabilitas. Jadi, penyandang disabilitas akan mendapatkan bantuan dana dari pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan sosialnya.
Kedua, Ganjar-Mahfud memiliki program Disabilitas Maju dan Produktif yang membuka pintu aksesibilitas bagi penyandang disabilitas untuk dapat bekerja, bersekolah, dan menjangkau pelayanan publik.
Ganjar-Mahfud juga berupaya untuk memasifkan pembangunan infrastruktur publik yang ramah dan bersahabat bagi penyandang disabilitas.
Dalam perspektif sosiologis yang dijelaskan oleh Michael Oliver dalam buku The Politics of Disablement (1990) bahwa kebijakan publik dan proses politik adalah instrumen yang dapat memberikan pengaruh terhadap kondisi penyandang disabilitas di suatu negara.
Oleh sebab itu, isu disabilitas harus menjadi fokus yang sentral dalam Pemilu 2024.
Michael Oliver menjelaskan bahwa berbagai dinamika dan problematika sosial yang dirasakan penyandang disabilitas bukan merupakan akibat langsung dari kekurangannya.
Namun, hal tersebut adalah kegagalan dari negara yang tidak mampu memberikan ruang yang “aman” dan “nyaman” bagi penyandang disabilitas.
Jika dikomparasikan dengan realita hari ini, maka negara masih belum optimal dalam mendistribusikan akses fasilitas publik yang ramah bagi penyandang disabilitas.
Sehingga berimplikasi terhadap penyandang disabilitas yang tidak dapat menggunakan berbagai fasilitas publik, seperti kantor pemerintah, sekolah, stasiun, rumah sakit, dan lain-lain.
Menurut data Badan Pusat Statistik (2021), dari sekitar 22 juta penyandang disabilitas di Indonesia, hanya sekitar 2 juta saja yang bersekolah.
Tentu, realita sosial ini memberikan fakta bahwa aksesibilitas penyandang disabilitas dalam konteks pendidikan masih sangat rendah.
Oleh sebab itu, maka negara harus hadir sebagai institusi paling tinggi yang mampu melegitimasi kebijakan maupun program secara implementatif. Agar dapat memberikan kesejahteraan secara moral dan sosial bagi penyandang disabilitas di seluruh daerah di Indonesia.
Di atas kertas, isu mengenai disabilitas sudah masuk ke dalam lemari gagasan para Capres dan Cawapres menuju Pemilu 2024.
Analisis deskriptif di atas juga dapat menggambarkan bagaimana Capres-Cawapres memiliki program yang substansial bagi penyandang disabilitas, mulai dari jaminan sosial, pendidikan, aksesibilitas layanan publik, dan lain sebagainya.
Wacana naratif ini juga harus dikontekstualisasikan menjadi gagasan substansial yang dapat diadu di dalam ruang publik melalui diskusi politik maupun forum publik.
Kembali pada konteks kontestasi elektoral hari ini, maka penulis berharap agar isu disabilitas yang diangkat oleh Capres dan Cawapres bukan hanya lahir sebagai janji kampanye normatif saja.
Wacana tersebut nantinya diharapkan terealisasi konkret dan bermanfaat bagi penyandang disabilitas secara umum.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya