KOMPAS.com – Tidak ada yang perubahan yang signifikan terhadap upaya penurunan suhu global sejak tahun lalu.
Padahal, negara-negara sudah berjanji memperkuat target iklim mereka dalam Glasgow Climate Pact yang ditandatangani pada 2021.
Pernyataan tersebut disampaikan Climate Action Tracker (CAT) dalam laporan terbarunya yang dirilis baru-baru ini.
Baca juga: Di COP28, Menteri ESDM Targetkan Emisi Energi Turun 358 Juta Ton
Menurut proyeksi yang dilakukan CAT, berdasarkan skenario kebijakan dan tindakan yang diambil negara-negara saat ini, suhu Bumi tetap akan naik 2,7 derajat celsius pada 2100.
Sedangkan, bila negara-negara mengambil kebijakan dan tindakan sesuai Nationally Determined Contributions (NDC), suhu Bumi masih akan naik 2,5 derajat celsius pada 2100.
Penulis utama laporan tersebut, Claire Stockwell, menyampaikan, setelah Glasgow Climate Pact ditandatangi, proyeksi peningkatan suhu Bumi tidak mengalami perubahan.
“Anda mungkin mengira kejadian ekstrem di seluruh dunia akan memicu tindakan, namun pemerintah tampaknya tidak sadar,” kata Stockwell dalam siaran pers CAT.
Baca juga: Emisi Bahan Bakar Fosil Cetak Rekor Tertinggi Tahun Ini
“Ini adalah dekade yang penting untuk mengambil tindakan: kita mendesak pemerintah untuk meningkatkan dan menggandakan target mereka pada 2030, serta berupaya mencapai target berikutnya, yang dijadwalkan paling lambat pada bulan Februari 2025,” sambungnya.
Sementara itu, Profesor Niklas Hohne dari NewClimate Institute mendesak pemerintah di seluruh dunia meninggalkan solusi palsu mencegah kenaikan suhu Bumi, seperti penangkapan dan penyimpanan karbon.
“Ini hanyalah upaya yang dilakukan oleh industri bahan bakar fosil untuk memperluas kelangsungan hidup mereka, ketika mereka harus menghadapi kenyataan bahwa bahan bakar fosil akan dihentikan secara bertahap,” paparnya.
Dalam laporannya, CAT menyebut Indonesia dapat berkontribusi dalam peningkatan suhu 2,5 derajat celsius pada 2100.
Baca juga: Transportasi Darat Kontibutor Besar Emisi, Begini Saran Dekarbonisasi dari IESR
Pasalnya, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Indonesia bertambah dan menyebabkan emisi meroket sebesar 21 persen pada tahun lalu.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyampaikan, lonjakan emisi dari batu bara di Indonesia merupakan keprihatinan yang serius.
“(PLTU) batu bara off-grid yang menggerakkan industri logam dalam negeri saat ini diproyeksikan menghasilkan tambahan emisi karbon dioksida sebesar 150 juta ton pada tahun 2030,” ucap Fabby.
CAT turut menyampaikan enam kriteria penting bagi pemerintah untuk memperbarui NDC mereka.
Baca juga: Demi Indonesia Bebas Emisi, SMI Jalin Kerja Sama dengan UNOPS
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya