KOMPAS.com – Transportasi darat berkontribusi besar terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor transportasi di Indonesia.
Pergerakan penumpang transportasi darat menyumbang emisi sebesar 73 persen atau sebesar 110 megaton setara karbon dioksida dari total emisi transportasi pada 2022.
Analis Mobilitas Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform (IESR) Rahmi Puspita Sari menyampaikan, pertumbuhan kendaraan nasional pada 2021 telah melebihi laju pertumbuhan populasi penduduk.
Baca juga: Pakar UI Sebut Sistem Penggerak Kendaraan Listrik Kunci Transportasi Bersih
Di tingkat nasional, sepeda motor mendominasi total jumlah kendaraan teregistrasi sekitar 84,54 persen pada 2021.
Hal yang sama juga terjadi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Sebanyak 75,8 persen dari moda transportasi yang digunakan adalah sepeda motor pada 2019 berdasarkan laporan Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration (JUTPI).
Dominasi kepemilikan sepeda motor ini disebabkan Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat meningkat dan harga sepeda motor yang juga cukup murah.
Di sisi lain, Indonesia masih belum memiliki angkutan umum yang dapat bersaing dengan sepeda motor dari sisi harga dan waktu.
Baca juga: Di China, Pakai Transportasi Publik dan Rajin Tanam Pohon Bisa Dapat Voucher Belanja
“Kondisi tersebut akan menimbulkan dampak buruk karena pembakaran sepeda motor tidak sempurna dibandingkan mobil, sehingga berpotensi menimbulkan polusi yang lebih parah,” kata Rahmi dikutip dari siaran pers IESR.
Kini, IESR mengembangkan peta jalan kebijakan dekarbonisasi sektor transportasi di tingkat nasional dan Jabodetabek.
IESR menguji kebijakan yang berkaitan dengan kendaraan dan pergerakan penumpang dalam pemodelan peta jalan dekarbonisasi transportasi.
Secara nasional, dengan berpedoman pada prinsip avoid (hindari dan kurangi perjalanan), shift (beralih ke kendaraan rendah karbon), dan improve (peningkatan efisiensi energi), terdapat lima kebijakan yang diuji untuk menurunkan emisi di sektor transportasi.
Baca juga: Usung Transportasi Berkelanjutan, MRT Jakarta Raih Peringkat Emas se-Asia
Lima kebijakan tersebut adalah bekerja dari rumah, pemusatan perjalanan pada transportasi publik, penggunaan biofuel, penetapan jumlah minimum efisiensi bahan bakar bermotor, dan pemberian insentif kepada kendaraan listrik motor dan mobil.
Fauzan Ahmad dari Tasrif Modeling Team, yang juga terlibat pada pembuatan peta jalan dekarbonisasi transportasi ini, menyatakan, hasil pengujian kebijakan memperlihatkan adanya penurunan emisi transportasi dengan rentang 15-75 persen hingga 2060.
Penurunan tersebut bisa terjadi melalui kombinasi kebijakan bekerja dari rumah, penggunaan kendaraan listrik, penggunaan bahan bakar nabati (BBN), penggunaan transportasi publik, dan efisiensi bahan bakar.
Sebagian besar penurunan baru didukung oleh kebijakan kendaraan penumpang dan belum berkaitan dengan kendaraan barang serta logistik darat.
Baca juga: Moskow Rilis MCD-3, Transportasi Perkotaan Masa Depan Berkelanjutan
Fauzan menyampaikan, kebijakan kendaraan listrik dapat berdampak besar dan menjadi game changer bagi penurunan emisi nasional.
“Namun setidaknya ada dua yang harus dicapai agar berdampak pada level nasional, yakni peningkatan pangsa penjualan kendaraan listrik dan dukungan kebijakan yang mendorong pengurangan jumlah kendaraan berbahan bakar yang tidak memenuhi syarat beroperasi,” tutur Fauzan.
“Selain itu, pergeseran moda ke arah transportasi umum memiliki dampak yang lebih berkelanjutan dalam konteks penggunaan bahan bakar dan sumber daya, namun membutuhkan investasi yang cukup besar,” tambahnya.
Baca juga: Besarnya Emisi Karbon Jadi Momentum Menuju Transportasi Bersih
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya