KOMPAS.com – Emisi karbon dioksida dari pembakaran bahan bakar fosil pada 2023 atau tahun ini diperkirakan mencapai rekor tertingginya yakni 36,8 miliar ton.
Angka tersebut meningkat 1,1 persen dibandingkan tingkat tahun 2022 dan 1,4 persen di atas tingkat sebelum pandemi, menurut data awal.
Ditambah dengan emisi yang berasal dari alih fungsi lahan, seperti deforestasi, total emisi karbon dioksida global kemungkinan akan mencapai 40,9 miliar ton.
Baca juga: Demi Indonesia Bebas Emisi, SMI Jalin Kerja Sama dengan UNOPS
Perkiraan tersebut tertuang dalam laporan Global Carbon Budget 2023 yang disusun oleh para peneliti dari lebih dari 90 institusi di seluruh dunia dan diterbitkan pada Selasa (5/12/2023) oleh Global Carbon Project.
Dalam laporan tersebut, emisi dari semua jenis bahan bakar mengalami peningkatan, sebagaimana dilansir Earth.org.
Secara khusus, emisi dari batu bara, yang menyumbang 41 persen dari emisi total global, diperkirakan akan meningkat sebesar 1,1 persen.
Sebagian peningkatan emisi dari pembakaran batu bara tersebut disebabkan oleh peningkatan yang signifikan di beberapa negara seperti India dan China, meskipun AS dan Uni Eropa perlahan-lahan mengurangi konsumsinya.
Baca juga: Indonesia Perlu Tingkatkan Ambisi Penurunan Emisi
Hal yang sama juga berlaku pada minyak bumi, yang mewakili 32 persen emisi global dan diproyeksikan meningkat 1,5 persen pada tahun ini.
Terakhir, peningkatan emisi gas alam di AS, China, dan India merupakan penyebab kenaikan emisi gas alam global yang diperkirakan sebesar 0,5 persen.
Meski dunia sudah bergerak maju dalam beberapa tahun terakhir, kemajuan yang terjadi dinilai masih sangat lambat dan belum cukup luas untuk menempatkan dunia pada jalur yang tepat untuk mencapai net zero emission (NZE).
Laporan tersebut juga memperkuat temuan terbaru yang menunjukkan, bila tingkat emisi tidak bisa dikendalikan, ambang kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat celsius bisa terlampaui dalam tujuh tahun.
Baca juga: Penghasil Emisi Harus Dipajaki Lebih Tinggi
Royal Society Research Professor dari School of Environmental Sciences University of East Anglia Corinne Le Quere menyampaikan, data tersbut membuktikan bahwa upaya membatasi kenaikan emisi sangat belum cukup.
“Namun beberapa tren emisi mulai berkurang, hal ini menunjukkan bahwa kebijakan iklim bisa efektif,” kata Le Quere.
“Semua negara perlu melakukan dekarbonisasi perekonomiannya lebih cepat dibandingkan saat ini untuk menghindari dampak terburuk perubahan iklim,” tambahnya.
Laporan tersebut dirilis ketika pembicaraan iklim semakin intensif dalam KTT COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA).
Profesor Pierre Friedlingstein, dari Exeter’s Global Systems Institute berujar, para pemimpin dalam COP28 harus menyetujui pengurangan emisi bahan bakar fosil secara cepat.
Baca juga: Emisi dari Segelintir Konglomerat Dunia Setara 5 Miliar Orang
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya