KOMPAS.com - Berbagai wilayah di belahan dunia tengah menghadapi krisis iklim dan lingkungan hidup.
Juru kampanye Greenpeace Brasil dan Greenpeace Indonesia Cristiane Mazzetti dan Syahrul Fitra menegaskan, perlu adanya upaya internasional untuk melindungi dan memulihkan alam dengan penuh kepedulian, tekad, dan harapan.
"Kami, sebagai warga Brasil dan Indonesia, adalah saksi langsung dari kerusakan lingkungan hidup tersebut dan dampaknya di negara kami masing-masing, dua negara yang menjadi rumah bagi ekosistem yang sangat penting bagi keseimbangan ekologi planet kita," ujar Cristiane dan Syahrul, dikutip dari Greenpeace, Selasa (2/1/2024).
Baca juga: Antisipasi Krisis Iklim, Brussels Berencana Jadi Kota Ramah Pedestrian
Oleh sebab itu, kata mereka, menjelang akhir 2023, Greenpeace International meluncurkan kampanye yang mendesak perlunya reformasi sistem keuangan agar berhenti ‘membiayai pemunahan’ (bankrolling extinctions).
Sebenarnya, sejumlah negara sudah memiliki upaya untuk mengatasi krisis keanekaragaman hayati. Pada Desember 2022, hampir 200 pemerintah menandatangani Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global (Global Biodiversity Framework atau GBF).
Salah satu tujuan perjanjian ini adalah mempertahankan, meningkatkan, dan memulihkan integritas dan ketahanan ekosistem.
Tak hanya ekosistem hutan seperti Amazon, Lembah Kongo, hutan Papua, atau hutan Carpathian. Tetapi juga untuk ekosistem penting lainnya seperti sabana (misalnya Cerrado) dan lahan basah (seperti Pantanal, lahan basah terbesar di Amerika Selatan yang membentang di Bolivia, Brasil, dan Paraguay).
Sayangnya, sistem keuangan saat ini terus merusak komitmen untuk mengatasi krisis iklim dan keanekaragaman hayati tersebut.
Baca juga: BMKG: Iklim Indonesia Sepanjang Tahun 2024 Ada pada Fase Netral
Mereka mewadahi para pencemar dengan cara memberikan pendanaan industri dan proyek yang mempercepat degradasi lingkungan dan kepunahan spesies.
"Triliunan dolar terus mengalir tanpa henti ke kegiatan yang merusak lingkungan hidup dan ekosistem," ujar mereka.
Salah satu contoh kasusnya adalah Rabobank, sebuah bank asal Belanda. Bank ini telah menghasilkan miliaran dolar dengan membiayai perusahaan-perusahaan yang merusak alam selama bertahun-tahun, baik di negara asalnya, Belanda, maupun di tempat lain, misalnya di Brasil dan Indonesia.
Tak hanya Robobank, dalam beberapa tahun terakhir, banyak bank dan lembaga keuangan yang ‘membiayai pemunahan’ tertulis di dalam laporan investigasi, termasuk JP Morgan, Barclays, Standard Chartered, dan Deutsche Bank. Mereka menjadi sasaran kritik di banyak negara di seluruh dunia.
"Kita sedang mengalami krisis iklim dan keanekaragaman hayati, tapi pemerintah dan sektor swasta menghabiskan sekitar 3,1 triliun dollar AS per tahun untuk subsidi dan investasi yang merugikan di sektor-sektor bermasalah seperti peternakan, kayu, dan produksi kelapa sawit, yang mengarah pada perusakan alam dan pelanggaran hak asasi manusia," kata mereka.
Baca juga: 5 Kabar Besar soal Perubahan Iklim Sepanjang Tahun 2023
Sementara itu, pengeluaran pemerintah global untuk kegiatan yang mengarah pada konservasi keanekaragaman hayati diperkirakan hanya mencapai 154 miliar dollar AStiap tahunnya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya