BEBERAPA tahun belakangan, istilah "keberlanjutan" dan "berkelanjutan" menjadi sangat populer. Istilah tersebut hampir bisa disematkan pada berbagai sektor, mulai dari energi berkelanjutan, bisnis berkelanjutan, hingga pendidikan berkelanjutan.
Bahkan, dalam Pemilihan Presiden 2024, ada pasangan calon yang menjadikan keberlanjutan sebagai identitas merek mereka.
"Keren dan berkelas-lah istilah keberlanjutan dan berkelanjutan," ujar seorang teman.
Namun, ketika saya bertanya padanya tentang makna singkat keberlanjutan, jawabannya hanya sebatas energi hijau, ekonomi sirkular, dan ketidakterputusan. Jawaban itu tidak salah, tapi hanya sekitar 25 persen dari keseluruhan gambaran.
Sebenarnya definisi keberlanjutan atau sustainability adalah kemampuan generasi saat ini untuk memenuhi kebutuhannya tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Definisi ini turun dari Komisi Brundtland di Perserikatan Bangsa Bangsa pada 1987 yang membahas tentang sustainable development atau pembangunan berkelanjutan.
Namun karena teman saya tersebut terlihat bengong, saya bertanya lagi apakah definisi itu terdengar abstrak? Ia mengangguk, dan saya pun tersenyum.
Sebagai komunikator, tantangan terbesar yang sering dihadapi adalah membuat sesuatu yang terlihat rumit, atau masih abstrak menjadi mudah dimengerti.
Keberlanjutan juga sama. Karena ia masih terasa abstrak, maka perlu pendekatan yang memudahkan, yaitu pengelolaan dampak.
Berdasarkan Oxford Learners Dictionarie, dampak didefinisikan sebagai efek kuat yang sesuatu berikan kepada sesuatu atau seseorang.
Kata dampak atau “impact” juga lebih dulu dikenal pada 1601, lebih tua daripada kata “berkelanjutan” atau “sustainable” yang muncul pada 1924 (merriam-webster.com).
Lebih jauh lagi, Global Reporting Initiative (GRI) standard - update 2021, yang merupakan acuan utama penyusunan laporan keberlanjutan korporasi sejak 2000, mendetailkan pengertian dampak sebagai efek yang ditimbulkan oleh organisasi terhadap ekonomi, lingkungan dan sosial termasuk hak-hak asasi manusia akibat dari aktivitas organisasi maupun hubungan bisnisnya.
Hubungan antara dampak dan keberlanjutan dapat dilihat melalui berbagai contoh. Misalnya, pada perusahaan minyak dan gas bumi, kegiatan produksi mereka memberikan dampak negatif, seperti peningkatan emisi karbon yang berkontribusi pada perubahan iklim global.
Dampak negatif itu dapat ditangani melalui beberapa cara, yakni menghentikan secara bertahap produksi minyak dan gas bumi dan beralih ke energi baru terbarukan seperti energi surya, panas bumi, air, angin, serta menggunakan teknologi Carbon Capture & Storage (CCS) untuk menangkap emisi karbon dan menyimpannya di formasi geologi tertentu di bawah tanah.
Emisi karbon yang ditangkap bisa juga digunakan untuk mengoptimalkan kegiatan produksi minyak dan gas bumi atau yang sering disebut Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS).
Proyek Liquified Natural Gas (LNG) Tangguh di Papua Barat adalah salah satu pioneer penerapan CCUS di Indonesia, yang nampaknya mulai diikuti proyek minyak dan gas bumi lainnya dalam bentuk CCS seperti Proyek LNG Abadi, Blok Masela.
Inovasi-inovasi ini merupakan langkah transisi energi yang perlu dilakukan untuk meningkatkan pasokan energi karena kebutuhan energi dunia saat ini belum bisa dipenuhi semua oleh energi baru terbarukan.
Dengan mengurangi dampak negatif ini, aspek keberlanjutan lingkungan, pasokan energi, dan bisnis saat ini dapat terpenuhi, sementara kualitas lingkungan bagi generasi mendatang tetap terjaga.
Pengelolaan dampak ini tidak hanya relevan dalam bisnis besar seperti industri minyak dan gas, tetapi juga dapat dimulai dari skala kecil, bahkan pada tingkat keluarga.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya