KOMPAS.com - Pekerja anak adalah salah satu isu anak yang penting dan menjadi perhatian di seluruh dunia.
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Nahar menegaskan, isu pekerja anak harus ditanggulangi secara menyeluruh dan berkesinambungan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Di Indonesia, isu tersebut menjadi bagian integral dari lima arahan Presiden Republik Indonesia kepada KemenPPPA yang keempat, yakni penurunan pekerja anak.
Menurutnya, pekerja anak adalah isu global yang diagendakan untuk ditanggulangi secara menyeluruh dan berkesinambungan.
"Komitmen yang menjadi cita-cita bersama ini merupakan upaya global yang dibangun sebagai respons atas realitas pekerja anak di dunia yang masih begitu memprihatinkan atas pengaruh dari beragam faktor yang melatarbelakangi,” ujar Nahar, dikutip dari laman KemenPPPA, Senin (8/1/2024).
Nahar menyampaikan, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menanggulangi pekerja anak.
Sekaligus menjadi bagian dari negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 mengenai Batas Usia Minimum Anak Dibolehkan Bekerja melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 dan Konvensi ILO Nomor 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (BPTA) melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000.
Dalam memperkuat komitmen nasional, Pemerintah Indonesia pun mengadopsi substansi dari kedua Konvensi ILO tersebut mengenai Pekerja Anak (PA) dan BPTA ke dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak.
Upaya Pemerintah Indonesia dalam penghapusan dan penurunan pekerja anak, kata Nahar, telah diselenggarakan dan dikembangkan melalui berbagai program dan kegiatan.
Mulai dari advokasi kebijakan, penguatan kapasitas kelembagaan, penyadaran masyarakat, hingga pengembangan uji coba di berbagai sektor yang kerap didapati adanya pekerja anak, seperti sektor perikanan, pertanian, pertambangan, pariwisata, trafficking untuk eksploitasi seksual, hingga domestik berupa pekerja rumah tangga anak (PRTA).
“Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, masih tercatat adanya kenaikan jumlah angka pekerja anak dari tahun ke tahun dan sempat menurun paska pandemi Covid-19,” tutur Nahar.
Nahar menjelaskan, peningkatan angka pekerja anak dari tahun ke tahun yang termasuk di dalamnya kasus eksploitasi dan BPTA, adalah indikasi bahwa sistem perlindungan terhadap anak masih harus terus diperkuat agar penyadaran, pencegahan, dan penanganan pekerja anak dapat semakin ditingkatkan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statisik (BPS), Indonesia mencatat jumlah pekerja anak pada 2019 sebesar 0,92 juta, 2020 sebesar 1,33 juta, 2021 sebesar 1,05 juta, dan pada 2022 sebesar 1,01 juta.
Data tersebut menggambarkan tren kenaikan pada rentang waktu 2020 akibat dampak pandemi Covid-19 dan kembali mengalami penurunan pada 2021.
Sepanjang 2019 hingga 2021, proporsi pekerja anak pun lebih banyak terjadi di daerah perdesaan dibandingkan perkotaan dan sebanyak 22 dari 34 provinsi di Indonesia memiliki proporsi pekerja anak di atas angka nasional.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya