JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengembangkan riset terkait kemasan pangan biodegradable dari biomassa, seperti aren dan bahan baku berbasis selulosa.
Hal ini dilakukn karena kemasan pangan yang selama ini beredar sulit terurai dan akhirnya membentuk mikroplastik.
“Inovasi ini diharapkan mampu mengurangi sampah kemasan plastik karena lebih mudah terurai,” kata Muslih Anwar, selaku peneliti Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan BRIN, Jumat (28/3/2025).
Menurut dia, limbah mikroplastik tidak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga dapat membahayakan kesehatan manusia.
“Apabila limbah mikroplastik tersebut dimakan oleh ikan kemudian dikonsumsi oleh manusia maka efek jangka panjangnya bisa menimbulkan gangguan kesehatan dan hormonal,” papar Muslih.
Selain kemasan pangan biodegradable, para peneliti mendalami bagaimana cara memperpanjang umur simpan produk makanan.
Mereka melakukan riset agar kemasan pembungkus bisa membunuh mikroba pada makanan. Tim menaruh sensor asam dan basa (PH) dalam kemasan itu.
“Sensor tersebut berfungsi untuk mendeteksi perubahan pH akibat adanya senyawa yang bersifat basa yang timbul dari kerusakan pangan oleh mikroba," jelas Muslih.
Baca juga: Tinggalkan Plastik, Ini Rekomendasi Bungkus Hampers Lebaran Ramah Lingkungan
"Sensor pH akan berubah warna apabila makanan sudah rusak sehingga konsumen dapat mengetahui kualitas pangan secara real-time, tanpa harus melihat tanggal kedaluwarsa produk,” imbuh dia.
Teknologi Baru
Ditemui secara terpisah, Peneliti Pusat Penelitan Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup BRIN, Erny Soekotjo, mengembangkan teknologi untuk standarisasi kemasan plastik saset bagi industri atau produsen.
Dia menjelaskan, saset termasuk plastik multilayer yakni kemasan yang terdiri dari lebih dari satu lapisan material. Sehingga, kebanyakan industri enggan mendaur ulang kemasan saset.
"Sedang dikembangkan satu teknologi yang mengganti multilayer ini menjadi mono-material, supaya si material ini bisa digabung sama plastik-plastik lain untuk didaur ulang jadi enggak merusak," ucap Erny, Jumat (21/2/2025).
Permasalahan lainnya ialah kemasan saset cenderung bernilai ekonomi rendah, karena kurangnya minat industri daur ulang meskipun secara material tetap bisa didaur ulang.
"Kan sekarang dianggap low value karena industri daur ulang enggak mau mengambil karena kalau bahannya dia kecampur sama plastik saset jadi masalah. Jadi dibuatlah kemasan saset yang bisa didaur ulang," tutur Erny.
Alhasil para peneliti mengembangkan teknologi tersebut sejak 2022 lalu. Erny menyebutkan, teknologi ini juga telah terdaftar sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) pada 2024.
Baca juga: Pemerintah Desak Produsen Olah Limbah Plastik Sendiri
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya