Selanjutnya mulai tahun 2016 ada 165.829 penumpang, tahun 2017 ada 1.021.867 penumpang, tahun 2018 ada 4.020.913 penumpang, tahun 2020 ada 1.728.782 penumpang, tahun 2021 ada 1.361.018 penumpang, tahun 2022 ada 2.130.951 penumpang, dan tahun 2023 sampai bulan April sebanyak 367.503 penumpang.
Pasca penandatanganan MoU Helsinki Tahun 2005, situasi Aceh mulai kondusif dan perputaran roda perekonomian masyarakat pun berangsur membaik, dikutip dari laman Dinas Perhubungan Aceh.
Banda Aceh, sebagai ibukota provinsi, mulai dilirik sebagai peluang bagi pelaku ekonomi baik dari provinsi Aceh maupun dari daerah lainnya. Hal ini menyebabkan pertumbuhan jumlah penduduk Kota Banda Aceh meningkat pesat.
Diperkirakan pada 2025 ada lebih dari 500.000 jiwa yang berdomisili di Banda Aceh dan sekitarnya. Pertumbuhan penduduk ini juga berbanding lurus dengan pertumbuhan kendaraan bermotor yang berkisar antara 12-13 persen per tahun.
Dengan perkiraan kepadatan penduduk sebesar 8.148 jiwa per kilometer persegi pada tahun 2025, tanpa transportasi massal yang memadai, dapat dipastikan lalu lintas Banda Aceh akan semakin padat dan semrawut.
Baca juga: Di Negara Ini Naik Transportasi Umum Gratis, Apa Dampaknya buat Warga?
"Apalagi saat itu setelah tsunami 2004, Banda Aceh tidak punya moda transportasi bus untuk melayani penumpang," kata Djoko.
Sebagai langkah awal penyelesaian persoalan tersebut, Pemerintah Aceh menjalin kesepakatan dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Republik Indonesia untuk menyelenggarakan angkutan masal perkotaan bertipe BRT (Bus Rapid Transit) di Banda Aceh.
Dengan demikian, Kementerian Perhubungan RI memberikan dukungan berupa penyediaan bus dan Pemerintah Aceh menyediakan prasarana serta biaya operasionalnya.
Angkutan massal perkotaan Trans Koetaradja yang masih gratis, selain sebagai solusi tranportasi perkotaan, juga diharapkan mampu meningkatkan antusiasme masyarakat untuk beralih dari penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan umum.
Pada tahun 2018, Trans Koetaradja berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 34.579 TCO2e atau mencapai 270 persen dari tahun sebelumnya.
Dinas Perhubungan Aceh juga tengah menjajaki kerjasama dengan Institut Teknik Surabaya untuk pengadaan bus bertenaga listrik sebagai bus feeder Trans Koetaradja untuk melayani rute-rute alternatif yang belum terlayani.
Kedua hal ini sejalan dengan komitmen Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) Republik Indonesia pada November 2016, tentang upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Nasional dengan target penurunan unconditional sebesar 29 persen pada 2030.
Baca juga: Di China, Pakai Transportasi Publik dan Rajin Tanam Pohon Bisa Dapat Voucher Belanja
Trans Koetaradja yang mulai beroperasi tahun 2016 tergolong angkutan massal perkotaan yang masih “hijau”.
Kerjasama dengan berbagai pihak pun terus dijalin, seperti kerjasama dengan Program Studi Teknik Elektro Unsyiah untuk penyediaan sistem e-ticketing pada bus Trans Koetaradja.
Saat ini, Trans Koetaradja memang merupakan angkutan massal perintis perkotaan. Namun, subsidi yang diberikan Pemerintah Aceh akan menjadi sebuah investasi besar di bidang angkutan yang diyakini mampu menjawab berbagai problematika transportasi perkotaan di masa yang akan datang.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya