KOMPAS.com - Lembaga penelitian kebijakan publik The Indonesian Institute meminta pemerintah menciptakan lingkungan pekerjaan yang ramah perempuan dan menjamin hak-haknya sebagai pekerja.
"Pemerintah harus tetap mendorong pemberi kerja di sektor apapun, baik formal maupun informal, untuk menciptakan ruang kerja yang ramah perempuan dan menjamin hak-hak pekerja perempuan sesuai dengan peraturan ketenagakerjaan dan kontrak kerja yang disepakati," kata Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute Dewi Rahmawati Nur Aulia, dikutip dari Antara, Minggu (14/1/2024).
Dewi menyoroti banyaknya perempuan yang bekerja di sektor informal seperti menjadi pengemudi transportasi daring.
Menurutnya, para perempuan tersebut bekerja dalam sektor informal akibat rendahnya pengupahan yang diterima kepala keluarga.
Baca juga: Indeks Pembangunan Gender Alami Tren Positif, Perempuan Makin Berdaya
Lebih lanjut, pihaknya mengatakan bahwa perempuan pengemudi transportasi daring membutuhkan perhatian khusus terkait dengan keselamatan kerja, misalnya jaminan sosial kecelakaan kerja, termasuk layanan bantuan hukum.
"Perempuan pekerja pengemudi daring sebagaimana laki-laki pengemudi daring lainnya membutuhkan jaringan dan jaminan keselamatan kerja, yang melindungi perempuan dari adanya kecelakaan, bahkan kejahatan seperti pelecehan seksual saat bekerja," tutur dia.
Pihaknya juga berharap agar pemimpin Indonesia yang terpilih nanti dapat memikirkan dan menciptakan skema kebijakan ekonomi yang ramah terhadap perempuan, baik di sektor formal maupun informal.
Menurutnya, meskipun pekerjaan pengemudi transportasi daring menjadi jenis pekerjaan pilihan alternatif yang mudah untuk dilakukan, namun tetap memiliki peluang risiko.
Beberapa risiko tersebut antara lain terjadinya kecelakaan kerja, menjadi korban kejahatan seksual, dan lain sebagainya.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah juga menyoroti masih banyaknya hambatan yang dialami perempuan di dunia kerja, termasuk stereotipe dan seksisme.
Hal tersebut menjadi akar diskriminasi berbasis gender, sehingga pemerintah terus berusaha memastikan perlindungan dan pemenuhan hak pekerja perempuan.
Menaker mengatakan, meski partisipasi kerja perempuan di dunia kerja sudah jauh meningkat namun hal itu tidak berarti langsung menimbulkan kesetaraan gender di tempat kerja.
Baca juga: Peluang Kerja bagi Perempuan di Sektor Travel & Tourism Meningkat Pesat
"Masih banyak hambatan yang harus dihadapi perempuan untuk bisa kuat berdaya di dunia kerja, kita bisa mulai melihat dari beban ganda yang dihadapi perempuan hingga kekerasan dan pelecehan di tempat kerja," katanya, dikutip dari Antara.
Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2023, untuk kasus kekerasan perempuan di ranah publik, kasus tertinggi adalah siber sebanyak 869 kasus.
Lalu, disusul kekerasan di tempat tinggal 136 kasus, kekerasan di tempat kerja 115 kasus, kekerasan di tempat umum 101 kasus, kekerasan di tempat pendidikan 37 kasus, kekerasan di fasilitas medis 6 kasus, kekerasan di tempat kerja luar negri (pekerja migran) 6 kasus, dan kekerasan lainnya 6 kasus.
Bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi di ranah publik adalah kekerasan seksual.
Ida menjelaskan, salah satu faktor penghambat itu adalah masih adanya gender shaming atau stereotipe dan seksisme yang menjadi akar diskriminasi berbasis gender terhadap perempuan.
Perilaku tersebut sering kali menyebabkan perempuan diremehkan di tempat kerja. Bahkan, masih ada yang memiliki persepsi pekerja perempuan mempunyai produktivitas yang lebih rendah dibanding lawan jenisnya.
Oleh karena itu, pemerintah lewat Kemenaker terus berkomitmen mendukung perempuan berdaya di tempat kerja, salah satunya dengan melindungi dan memberikan rasa aman akan pemenuhan hak-haknya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya