JAKARTA, KOMPAS.com - Terminologi greenflation mencuat saat Calon Wakil Presiden (Cawapres) Nomor Urut 2 Gibran mendapatkan giliran bertanya kepada Cawapres Nomor Urut 3 Mahfud MD dalam debat cawapres di JCC, Jakarta, Minggu (21/1/2024).
Greenflation atau green inflation sejatinya merupakan terminologi baru. Ia merupakan konsep inflasi hijau yang dapat diringkas menjadi kenaikan harga barang dan jasa (inflasi) sebagai konsekuensi transisi perekonomian saat ini ke perekonomian yang lebih hijau atau perekonomian net-zero.
Karena konsep ini belum ditetapkan secara pasti dan masih menjadi bahan perdebatan di kalangan ekonom, maka yang diampu adalah penggunaan definisi yang luas.
Namun demikian, penting untuk diingat bahwa tidak semua kenaikan harga disebabkan oleh inflasi hijau. Misalnya, tidak masuk akal jika kita berpikir bahwa inflasi hijau cukup untuk menjelaskan tingkat inflasi tahunan sebesar 5,3 persen di Uni Eropa pada bulan Desember 2021 (Eurostat 2021).
Baca juga: Nusantara Green Pesantren, Upaya Wujudkan Visi IKN sebagai Kota Hutan
Hal ini karena ada banyak alasan lain yang menyebabkan kenaikan harga. Namun inflasi hijau tetap diperlukan untuk menjelaskan inflasi yang kita alami.
Dikutip dari esg.org, inflasi hijau juga bukan merupakan tanda kegagalan sistem ekonomi karena ditandai dengan inflasi yang terus berlanjut: transisi hijau adalah tugas besar yang memerlukan investasi besar-besaran (Blas, 2022).
Memang, ekonom Amerika Pr. Harold T. Shapiro (1981) berpendapat bahwa inflasi yang berkelanjutan tidak dapat dipahami secara ekonomi semata.
Menurutnya, inflasi lebih berkaitan langsung dengan respons sistem politik kita terhadap perubahan agenda sosial dibandingkan dengan kekurangan yang belum terselesaikan dalam sistem ekonomi kita.
Faktanya, krisis Covid-19 merupakan tonggak penting bagi kesadaran global terhadap permasalahan sosial dan lingkungan dalam masyarakat kita. Hal ini telah mengguncang agenda politik dan mempercepat transisi ramah lingkungan.
Penyebab dan manifestasi inflasi hijau
Menurut cobsinsight.org, pertama-tama yang harus dilihat adalah inflasi hijau tecermin dalam kenaikan harga beberapa komoditas.
Yang terakhir ini harus dipahami sebagai terpenuhinya permintaan yang kuat akan logam yang diperlukan untuk transisi ramah lingkungan dan pasokan yang tidak mampu memenuhi permintaan tersebut.
Baca juga: Dukung Green Economy, BRIDS Penjamin Pelaksana IPO Perusahaan Sepeda
Pasokan minim akibat rendahnya investasi besar-besaran di sektor pertambangan, yang sudah sangat terdampak oleh Covid-19.
China, misalnya, memasok hampir 60 persen aluminium dunia, namun memutuskan untuk membatasi peleburan baru agar sejalan dengan kampanye netralitas karbonnya (Sharma, 2021).
Terakhir, penurunan produktivitas yang disebabkan oleh pertanian ramah lingkungan dan beretika mengakibatkan harga bahan pertanian menjadi lebih tinggi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya