JAKARTA, KOMPAS.com – Hasil studi yang dilakukan Yayasan Indonesia CERAH dan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menemukan, penutupan lebih cepat PLTU batu bara yang secara bersamaan digantikan dengan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan lebih menguntungkan secara ekonomi.
Berdasarkan studi permodelan dengan skenario tersebut, ekonom dan direktur CELIOS Bhima Yudhistira menyebut pensiun dini PLTU Cirebon 1, PLTU Pelabuhan Ratu, dan PLTU Suralaya bisa berkontribusi ke ekonomi nasional hingga Rp 82,6 triliun.
Tak hanya produk domestik bruto (PDB) yang tinggi, Pensiun dini PLTU berpotensi membuka lapangan pekerjaan di sektor hijau (green jobs) bagi 600.000 orang lebih.
"Penutupan PLTU batu bara dibarengi dengan pembangunan pembangkit energi terbarukan mampu menyumbang ekonomi Rp 82,6 triliun, menyerap 639.000 tenaga kerja hingga menurunkan kemiskinan 153.755 orang secara nasional.” kata Bhima, dalam Diseminasi Temuan Riset CERAH dan CELIOS di Jakarta, Kamis (25/1/2024).
Baca juga: Investasi EBT Tahun 2023 Menurun, Migas dan Minerba Naik
Ia mengatakan, sektor industri pengolahan menjadi salah satu sektor yang terangkat, karena akan ada suplai komponen EBT untuk pembangkit energi bersih.
"Akan ada industri panel surya, komponen mikrohidro, dan berbagai jenis teknologi untuk support EBT," ujar Bhima.
Bahkan, jika industrialisasi dilakukan di kawasan PLTU batu bara yang dimatikan, Bhima menjelaskan asumsi bahwa relokasi industri tidak akan terjadi. Sehingga, potensi timbulnya pengangguran bisa dihindari.
Namun, EBT yang dikembangkan seiring pensiun PLTU batu bara ini harus pembangkit yang benar-benar bersih. Ia mengecualikan sejumlah EBT, seperti pembangkit nuklir, CCS, hingga co-firing, serta geothermal karena menurutnya dapat mengakibatkan konflik.
"Jadi, yang masuk ini adalah pembangkit tenaga surya, hidro, mikrohidro, angin, biogas, dan pengolahan sampah menjadi energi," terang dia.
Sebagai informasi, PLTU Cirebon-1 dan Pelabuhan Ratu masuk ke dalam dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) Just Energy Transition Partnership (JETP) yang rencananya akan dipensiunkan pada 2035 dan 2037. Studi ini merupakan studi lanjutan dari laporan yang diluncurkan CERAH dan CELIOS pada Juli 2023.
Baca juga: Realisasi EBT 2023 Rendah, Berlawanan dengan Semangat Netralitas Karbon
Upaya mempercepat pensiun dini PLTU batu bara seringkali terhambat oleh kekhawatiran dampak negatif ekonomi yang mempengaruhi tenaga kerja, masyarakat lokal, hingga hilangnya pendapatan sebagian pelaku usaha.
"Studi yang kami lakukan menunjukkan bahwa skenario penutupan PLTU batu bara di tiga lokasi pembangkit bisa menurunkan PDB Rp 3,96 triliun, menciptakan risiko pengurangan tenaga kerja hingga 14.022 orang, dan meningkatkan jumlah penduduk miskin 3.373 orang," ujarnya.
Namun, skenario berbeda bisa didapatkan jika pensiun dini dibarengi dengan pembangunan pembangkit energi baru terbarukan (EBT).
Oleh karena itu, Bhima mengatakan, dampak ekonomi dari penutupan PLTU batu bara sangat bergantung dari upaya mitigasi, kesiapan regulasi, dan komitmen mempercepat pembangkit energi terbarukan sebagai pengganti PLTU.
“Berdasarkan rekomendasi studi, maka kami mendesak negara maju yang terlibat dalam JETP, pemerintah hingga lembaga pembiayaan untuk memasukkan lebih banyak PLTU dalam pipeline pensiun dini, sekaligus mempercepat pembangunan transmisi dan pembangkit energi terbarukan secara paralel," ungkap Bhima.
Baca juga: Warga Bisa Gunakan Limbah PLTU untuk Pupuk hingga Material Bangunan
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya