KOMPAS.com - Menurut penelitian terbaru, satu dari tiga bayi yang berusia di bawah usia dua tahun (baduta) di Indonesia belum mendapat protein hewani yang cukup.
Hal tersebut disampaikan peneliti senior SEAMEO RECFON dan Country Lead Action Against Stunting Hub (AASH) Indonesia Umi Fahmida, sebagaimana dilansir dari Antara, Minggu (28/1/2024).
“Indonesia berada pada peringkat ke-7 dari 9 negara di Asia Tenggara dengan konsumsi telur, ikan, daging (TID) sebesar 71 persen," ujar Umi.
Baca juga: Antara Protein Hewani dan Nabati, Mana Lebih Unggul Cegah Stunting?
Di samping mengonsumsi makanan pendamping ASI (MPAS) yang kaya protein hewani, Umi juga mendorong makanan dengan protein hewani yang beragam.
Selain itu, perlu upaya untuk meningkatkan kualitas MPASI di Indonesia, perlu adanya strategi yang terencana dengan baik.
Saat ini, Indonesia sedang berupaya mencapai target penurunan stunting pada balita menjadi 14 persen di tahun 2024.
Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Irma Ardiana MAPS menilai terdapat penurunan prevalensi stunting yang konsisten di Tanah Air dalam beberapa tahun terakhir.
"Ada penurunan angka stunting yang konsisten di Indonesia. Hal ini menunjukkan keseriusan seluruh unsur dan pemangku kepentingan yang terlibat. Terlebih konsistensi ini masih tetap terjadi, meskipun pada masa pandemi Covid-19 lalu," terang Irma.
Baca juga: Rendahnya Asupan Protein Hewani Sebabkan Anak Stunting
Pemenuhan kebutuhan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan sangat ditentukan oleh praktik pemberian MPASI.
BKKBN melalui pengembangan Dapur Sehat Atasi Stunting (DASHAT) menjadi pelengkap program pemberian makanan tambahan (PMT) oleh Kementerian Kesehatan.
“Kegiatan edukasi dalam program DASHAT mencakup pemilihan dan pengolahan makanan padat gizi lokal dengan penguatan pesan gizi seimbang berbasis pangan lokal (PGS-PL) yang telah dikembangkan oleh SEAMEO RECFON,” jelas Irma.
Salah satu daerah yang saat ini berjuang menghadapi tantangan stunting, yakni Lombok Timur. Pemerintah Lombok Timur sudah menerapkan pangan lokal kaya protein hewani ke dalam MPASI.
Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, Lombok Timur menempati peringkat pertama dengan angka stunting tertinggi di Nusa Tenggara Barat (NTB), yaitu 37,6 persen.
Baca juga: Kejar Prevalensi Stunting 14 Persen, Protein Energy Ratio Penting Diperhatikan
"Terdapat penurunan yang cukup masuk akal, yaitu 2 persen pada 2022 menjadi 35,6 persen. Perbaikan pola pikir menjadi kunci keberhasilan," kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Timur Pathurahman.
Penelitian AASH yang dilakukan di Lombok Timur diharapkan dapat memberikan masukan penting bagi ilmu pengetahuan dan kebijakan dalam penanggulangan stunting yang lebih efektif.
Studi AASH merupakan studi interdisiplin yang didanai oleh United Kingdom Research and Innovation-Global Challenges Research Fund (UKRI GCRF) dengan pendekatan anak secara utuh (Whole Child Approach).
Umi menuturkan, penelitian AASH menganalisis rantai nilai pangan yang akan mengetahui kombinasi makanan padat gizi.
"Studi AASH juga dapat berkontribusi terhadap definisi stunting yang lebih tegak, tidak hanya terkait keterlambatan pertumbuhan, namun juga perkembangan," terang Umi.
Baca juga: Biskuit dan Susu Tak Efektif Atasi Stunting, Anggaran Dialihkan ke Protein Hewani
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya