Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 1 Februari 2024, 19:00 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Hasil studi dari Yayasan Indonesia CERAH dan Institute for Policy and Development (Poldev) Unitrend, Universitas Gadjah Mada (UGM) menunjukkan bahwa pensiun dini PLTU batu bara akan memberikan lebih banyak dampak positif bagi kesehatan, lingkungan, dan ekonomi kelompok masyarakat miskin di wilayah terkait.

Sebagai informasi, Peraturan Presiden (PP) Nomor 112 Tahun 2022 Tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik menyebut pemensiunan dini ditargetkan selesai tahun 2050.

Indonesia pun telah berpartisipasi dalam mempercepat dan memperkuat komitmen penurunan karbon melalui mekanisme pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP).

Baca juga: Pengamat: Belum Ada Peta Jalan Komprehensif Pensiun Dini PLTU

Dalam dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP), pensiun dini PLTU dijadikan sebagai salah satu cara Indonesia untuk bertransisi energi.

Saat ini, pemerintah telah menetapkan sejumlah PLTU yang masuk dalam daftar pemensiunan dini, di antaranya PLTU Pacitan, Pelabuhan Ratu, dan Cirebon-1.

Dengan demikian, studi persepsi masyarakat sekitar wilayah PLTU memiliki implikasi yang
signifikan dalam mendukung keberlangsungan pemensiunan dini PLTU.

Alasan pensiun dini PLTU berdampak positif

Dari studi tersebut, diketahui bahwa 85 persen penduduk yang tinggal di daerah dekat PLTU batu bara di tiga wilayah, yaitu PLTU Cirebon-1, PLTU Pacitan, dan PLTU Pelabuhan Ratu, tidak menggantungkan pendapatannya dari aktivitas PLTU batu bara, baik secara langsung atau tidak langsung.

Studi ini juga menemukan bahwa kesehatan warga dengan rentang usia 14-44 tahun terganggu sejak ketiga PLTU tersebut beroperasi.

Adapun responden yang dikumpulkan dari tiga wilayah tersebut berjumlah 299 responden. Wilayah PLTU Pacitan 101 responden, Pelabuhan Ratu 103 responden, dan Cirebon-1 berjumlah 95 responden.

Faktor lainnya, limbah fly ash yang dihasilkan oleh PLTU Cirebon-1 merupakan batu bara berkapasitas penuh (100 persen coal) diketahui memicu banyak keluhan.

Baca juga: Pensiun Dini PLTU Berdampak Positif Bila Diganti Energi Terbarukan

Keluhan ini juga muncul dari PLTU yang menerapkan skema co-firing dengan biomassa seperti PLTU Pelabuhan Ratu dan Pacitan. 

Peneliti Poldev Erythrina Orie, mengatakan bahwa dalam praktiknya, partisipasi masyarakat lokal dalam transisi energi masih sangat kurang.

“Hanya 1 dari 5 orang masyarakat sekitar PLTU yang terlibat secara aktif dengan komunitas lokal dalam agenda transisi energi. Inkonsistensi kebijakan pemerintah membuat masyarakat ragu untuk bertindak proaktif untuk transisi energi,” ujar Orie.

Orie juga menyampaikan, sebagian besar masyarakat yang bermukim di sekitar PLTU tidak dapat menyuarakan pendapatnya dengan bebas karena kekhawatiran faktor ancaman dan fenomena premanisme.

"Hal ini secara tidak langsung merubah tatanan sosio-kultural terhadap aksi kolektif dan partisipatif," imbuhnya. 

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Tren Global Rendah Emisi, Indonesia Bisa Kalah Saing Jika Tak Segera Pensiunkan PLTU
Tren Global Rendah Emisi, Indonesia Bisa Kalah Saing Jika Tak Segera Pensiunkan PLTU
LSM/Figur
JSI Hadirkan Ruang Publik Hijau untuk Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender
JSI Hadirkan Ruang Publik Hijau untuk Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender
Swasta
Dampak Panas Ekstrem di Tempat Kerja, Tak Hanya Bikin Produktivitas Turun
Dampak Panas Ekstrem di Tempat Kerja, Tak Hanya Bikin Produktivitas Turun
Pemerintah
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
Pemerintah
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
LSM/Figur
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Pemerintah
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau