Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jelang Debat Capres, Ini Pesan Setara Soal Toleransi dan Inklusi

Kompas.com, 1 Februari 2024, 17:00 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Menjelang agenda debat pilpres 2024 kelima, Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan menyampaikan beberapa pesan mengenai inklusi, yang perlu diperhatikan oleh para capres-cawapres 2024. 

Hal ini seiring dengan akan digelarnya debat cawapres kelima pada Minggu (4/2/2024) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Adapun tema debat terakhir ini, termasuk kesejahteraan sosial, sumber daya manusia, dan inklusi

Halili mengatakan, para capres harus menyadari betul bahwa kebhinekaan atau perbedaan suku, budaya, agama, adalah denyut nadi Tanah Air. 

Kebhinekaan, kata dia, merupakan sesuatu yang menjadi simbol utama bangsa, seperti tercermin dalam kemerdekaan hingga Sumpah Pemuda, yang menghimpun seluruh identitas. 

Baca juga: Dukung Inklusi Asuransi, Jagadiri Tawarkan Produk Proteksi Lifestyle

"Pertanyaannya, apakah seluruh kepemimpinan politik yang ada punya komitmen memperkuat kebhinekaan? kami ragu," ujar Halili saat ditemui di Jakarta, Selasa (30/1/2024). 

Pasalnya, daftar peristiwa atau kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia masih cukup tinggi, hampir selalu di atas 150 kasus. 

"Jadi para calon presiden ini mesti memiliki kehendak politik yang kuat untuk memastikan toleransi menjadi bagian dari etika kolektif dalam tata kebhinekaan kita," tegasnya. 

Pentingnya kolaborasi pusat dan daerah

Selanjutnya, kata Halili, hal yang perlu didorong para pemimpin di masa mendatang, adalah memastikan adanya koneksi antara apa yang direncakan di tingkat pusat dengan di tingkat daerah. 

"Jangan sampai, seperti yang terjadi saat ini, ada nirkoneksi, antara yang dirancang di pusat dengan yang dirancang di daerah. Atau secara sederhana, kalau pusat tidak bisa mengarahkan daerah untuk memajukan toleransinya, maka pusat mesti meninjau ulang dari sisi regulasi, apa masalahnya?" ujar Halili. 

Baca juga: Daftar Kota Paling Toleran dan Intoleran 2023

Ia memberikan contoh, isu agama telah ditetapkan Pemerintah Daerah bahwa hal tersebut absolut menjadi urusan Pemerintah Pusat. 

Namun kemudian, Pemerintah Pusat memberikan ruang kepada daerah-daerah untuk mengatur persoalan agama yang sebenarnya berada di luar kewenangan mereka. Dengan demikian, daerah-daerah akhirnya harus berhadapan dengan misalnya penolakan pendirian rumah ibadah. 

Tingkatkan aparatur negara

Persoalan ketiga, menurutnya, masalah toleransi dan inklusivitas berasal dari dua lapis yaitu masyarakat dan negara. Ia berharap para capres bisa memerhatikan hal tersebut. 

Untuk masalah di masyarakat, misalnya, banyak terjadi segregasi atau pemisahan kelompok sosial tertentu. 

Sebagai contoh, perumahan yang erat identitas muncul di banyak tempat, seperti Depok dan Yogyakarta, selain Jakarta. 

Baca juga: AEON Store dan Living World Kota Wisata Tanam Pohon Bersama

"Orang diajak berhimpun di satu kumpulan, perumahan muslim, perumahan katolik, dan lain-lain. Kalau pemerintah tidak punya concern atas hal ini, ini akan jadi masalah besar di masyarakat," terang dia. 

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Banjir Sumatera dan Ancaman Sunyi bagi Perempuan, Belajar dari Pengalaman dalam Bencana Likuefaksi di Sulawesi
Banjir Sumatera dan Ancaman Sunyi bagi Perempuan, Belajar dari Pengalaman dalam Bencana Likuefaksi di Sulawesi
LSM/Figur
Warga Bantu Warga, JNE Percepat Distribusi 500 Ton Bantuan ke Sumatera
Warga Bantu Warga, JNE Percepat Distribusi 500 Ton Bantuan ke Sumatera
Swasta
Pasar Software Akuntansi Karbon Diprediksi Meroket sampai 2033
Pasar Software Akuntansi Karbon Diprediksi Meroket sampai 2033
LSM/Figur
Kemenhut Segel Lagi 3 Entitas di Tapanuli Selatan, Diduga Picu Banjir Sumatera
Kemenhut Segel Lagi 3 Entitas di Tapanuli Selatan, Diduga Picu Banjir Sumatera
Pemerintah
Suhu Laut Naik akibat Perubahan Iklim Bikin Siklon di Asia Makin Parah
Suhu Laut Naik akibat Perubahan Iklim Bikin Siklon di Asia Makin Parah
LSM/Figur
Bahan Kimia Sintetis Dalam Pangan Ciptakan Beban Kesehatan 2,2 Triliun Dollar AS Per Tahun
Bahan Kimia Sintetis Dalam Pangan Ciptakan Beban Kesehatan 2,2 Triliun Dollar AS Per Tahun
LSM/Figur
Pendanaan Hijau Diproyeksikan Naik Tahun 2026, Asal..
Pendanaan Hijau Diproyeksikan Naik Tahun 2026, Asal..
Swasta
Longsor di Hulu DAS Padang dan Agam, Kemenhut Lakukan Kajian Mendalam
Longsor di Hulu DAS Padang dan Agam, Kemenhut Lakukan Kajian Mendalam
Pemerintah
BEI Sebut Investasi Berbasis ESG Naik 194 Kali Lipat dalam 1 Dekade Terakhir
BEI Sebut Investasi Berbasis ESG Naik 194 Kali Lipat dalam 1 Dekade Terakhir
Pemerintah
Perkuat Digital Nasional, TIS Kembangkan Kabel Laut TGCS-2 Jakarta–Manado
Perkuat Digital Nasional, TIS Kembangkan Kabel Laut TGCS-2 Jakarta–Manado
Swasta
EIB Global dan Uni Eropa Bersihkan Sampah Laut di Kepulauan Seribu
EIB Global dan Uni Eropa Bersihkan Sampah Laut di Kepulauan Seribu
LSM/Figur
Panas Ekstrem Bikin 8.000 Spesies Terancam Punah, Amfibi dan Reptil Paling Rentan
Panas Ekstrem Bikin 8.000 Spesies Terancam Punah, Amfibi dan Reptil Paling Rentan
LSM/Figur
Masyarakat Sipil Desak Prabowo Tetapkan Status Bencana Nasional di Sumatera
Masyarakat Sipil Desak Prabowo Tetapkan Status Bencana Nasional di Sumatera
LSM/Figur
DAS Kuranji di Sumatera Barat Melebar hingga 150 Meter Usai Banjir, Ini Penjelasan Kemenhut
DAS Kuranji di Sumatera Barat Melebar hingga 150 Meter Usai Banjir, Ini Penjelasan Kemenhut
Pemerintah
Bibit Siklon Tropis 91S Muncul di Samudera Hindia, Apa Dampaknya untuk Sumatera?
Bibit Siklon Tropis 91S Muncul di Samudera Hindia, Apa Dampaknya untuk Sumatera?
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau