KOMPAS.com - Menjelang agenda debat pilpres 2024 kelima, Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan menyampaikan beberapa pesan mengenai inklusi, yang perlu diperhatikan oleh para capres-cawapres 2024.
Hal ini seiring dengan akan digelarnya debat cawapres kelima pada Minggu (4/2/2024) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Adapun tema debat terakhir ini, termasuk kesejahteraan sosial, sumber daya manusia, dan inklusi.
Halili mengatakan, para capres harus menyadari betul bahwa kebhinekaan atau perbedaan suku, budaya, agama, adalah denyut nadi Tanah Air.
Kebhinekaan, kata dia, merupakan sesuatu yang menjadi simbol utama bangsa, seperti tercermin dalam kemerdekaan hingga Sumpah Pemuda, yang menghimpun seluruh identitas.
Baca juga: Dukung Inklusi Asuransi, Jagadiri Tawarkan Produk Proteksi Lifestyle
"Pertanyaannya, apakah seluruh kepemimpinan politik yang ada punya komitmen memperkuat kebhinekaan? kami ragu," ujar Halili saat ditemui di Jakarta, Selasa (30/1/2024).
Pasalnya, daftar peristiwa atau kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia masih cukup tinggi, hampir selalu di atas 150 kasus.
"Jadi para calon presiden ini mesti memiliki kehendak politik yang kuat untuk memastikan toleransi menjadi bagian dari etika kolektif dalam tata kebhinekaan kita," tegasnya.
Selanjutnya, kata Halili, hal yang perlu didorong para pemimpin di masa mendatang, adalah memastikan adanya koneksi antara apa yang direncakan di tingkat pusat dengan di tingkat daerah.
"Jangan sampai, seperti yang terjadi saat ini, ada nirkoneksi, antara yang dirancang di pusat dengan yang dirancang di daerah. Atau secara sederhana, kalau pusat tidak bisa mengarahkan daerah untuk memajukan toleransinya, maka pusat mesti meninjau ulang dari sisi regulasi, apa masalahnya?" ujar Halili.
Baca juga: Daftar Kota Paling Toleran dan Intoleran 2023
Ia memberikan contoh, isu agama telah ditetapkan Pemerintah Daerah bahwa hal tersebut absolut menjadi urusan Pemerintah Pusat.
Namun kemudian, Pemerintah Pusat memberikan ruang kepada daerah-daerah untuk mengatur persoalan agama yang sebenarnya berada di luar kewenangan mereka. Dengan demikian, daerah-daerah akhirnya harus berhadapan dengan misalnya penolakan pendirian rumah ibadah.
Persoalan ketiga, menurutnya, masalah toleransi dan inklusivitas berasal dari dua lapis yaitu masyarakat dan negara. Ia berharap para capres bisa memerhatikan hal tersebut.
Untuk masalah di masyarakat, misalnya, banyak terjadi segregasi atau pemisahan kelompok sosial tertentu.
Sebagai contoh, perumahan yang erat identitas muncul di banyak tempat, seperti Depok dan Yogyakarta, selain Jakarta.
Baca juga: AEON Store dan Living World Kota Wisata Tanam Pohon Bersama
"Orang diajak berhimpun di satu kumpulan, perumahan muslim, perumahan katolik, dan lain-lain. Kalau pemerintah tidak punya concern atas hal ini, ini akan jadi masalah besar di masyarakat," terang dia.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya