KOMPAS.com - Pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara perlu dibarengi penggantian energi terbarukan agar memberikan dampak positif.
Menurut studi yang dilakukan Yayasan Indonesia CERAH dan Center of Economic and Law Studies (CELIOS), penutupan PLTU Cirebon-1, PLTU Pelabuhan Ratu, dan PLTU Suralaya dapat merugikan produk domesti bruto (PDB) Indonesia sebesar Rp 3,96 triliun.
Selain itu, penutupan ketiga PLTU tersebut juga berisiko mengurangi tenaga kerja hingga 14.022 orang dan meningkatkan jumlah penduduk miskin hingga 3.373 orang.
Baca juga: Dampak Pensiun Dini 3 PLTU, PDB Nasional Bisa Turun Rp 4 Triliun
Namun, apabila penutupan ketiga PLTU tersebut dibarengi pembangunan pembangkit energi terbarukan justru mampu menyumbang ekonomi Rp 82,6 triliun.
Skenario tersebut juga dapat menyerap 639.000 tenaga kerja hingga menurunkan kemiskinan 153.755 orang secara nasional.
Studi berjudul Antisipasi Dampak Pensiun Dini PLTU terhadap Perekonomian: Studi Kasus pada
PLTU Cirebon-1, PLTU Pelabuhan Ratu, dan PLTU Suralaya tersebut merupakan penelitian lanjutan dari laporan yang diluncurkan CERAH dan CELIOS pada Juli 2023.
Upaya mempercepat pensiun dini PLTU batu bara seringkali terhambat oleh kekhawatiran dampak negatif ekonomi yang memengaruhi tenaga kerja, masyarakat lokal, hingga hilangnya pendapatan sebagian pelaku usaha.
Baca juga: Warga Bisa Gunakan Limbah PLTU untuk Pupuk hingga Material Bangunan
Padahal, pensiun dini PLTU batu bara dapat berbalik positif bila dibarengi dengan upaya-upaya hijau.
Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan, dampak ekonomi dari penutupan PLTU batu bara sangat bergantung dari upaya mitigasi, kesiapan regulasi, dan komitmen mempercepat pembangkit energi terbarukan sebagai pengganti PLTU.
Untuk diketahui, PLTU Cirebon-1 dan PLTU Pelabuhan Ratu masuk ke dalam dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) Just Energy Transition Partnership (JETP).
Dalam dokumen CIPP JETP, PLTU Cirebon-1 rencananya dipensiunkan pada 2035 sedangkan PLTU Pelabuhan Ratu dipensiunkan pada 2037.
"Berdasarkan rekomendasi studi, maka kami mendesak negara maju yang terlibat dalam JETP, pemerintah, hingga lembaga pembiayaan untuk memasukkan lebih banyak PLTU dalam rencana pensiun dini, sekaligus mempercepat pembangunan transmisi dan pembangkit energi terbarukan secara paralel," ungkap Bhima, dikutip dari siaran pers, Kamis (25/1/2024).
Baca juga: Co-firing EBTKE di 43 PLTU Sukses Kurangi Emisi Karbon 1,1 Juta Ton
Sementara itu, Direktur Eksekutif CERAH Agung Budiono mengungkapkan, dalam agenda transisi energi, pensiun dini PLTU batu bara penting dilakukan untuk mencapai ambisi iklim.
Agar memiliki dampak ekonomi yang signifikan, pensiun dini PLTU batu bara harus dibarengi dengan akselerasi pembangunan energi terbarukan.
"Jadi antara pensiun dini PLTU dan pembangunan energi terbarukan harus dilakukan secara paralel, agar dampak ekonomi dan sosialnya bisa dimitigasi, penting untuk melihat ini secara utuh," kata Agung.
"Pelibatan pemerintah daerah dalam penyusunan peta kebijakan ini juga sangat signifikan karena dampak ekonomi dari kebijakan ini nyata di level itu," sambungnya.
Untuk memastikan transisi berjalan lancar, beberapa kebijakan perlu dipersiapkan. Peran pemerintah daerah juga menjadi krusial dalam proses ini.
Baca juga: Polandia Akan Tentukan Waktu Pensiun Semua PLTU Batu Bara
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya